Ngopi Santai
Nyepi 2021, Internet, dan Pentingnya “Puasa” Medsos
Hidup nyata adalah hidup offline, bukan online. Seberapa banyak like di dunia maya tak ada artinya bila kita mendapat banyak dislike di dunia nyata.
Untuk kepentingan risetnya, Cal meminta 1600 orang itu untuk “puasa” selama 30 hari dari menggunakan piranti teknologi, terutama ponsel. Tentu saja tantangan itu disodorkan asalkan “puasa ponsel” itu tak membuat mereka dipecat dari pekerjaan, bercerai atau mengakibatkan kejadian fatal lainnya.
Singkat cerita, orang-orang itu diminta untuk mengucapkan selamat tinggal terutama pada Facebook, Instagram, YouTube dan Twitter selama sebulan.
Namun, untuk hal-hal yang sangat primer dan keharusan, mereka masih boleh menggunakan ponsel tetapi disertai batasan-batasan. Aturannya antara lain begini: boleh cek email tapi hanya di jam-jam yang ditentukan. Juga boleh lihat layar ponsel, namun hanya terbatas pada jam-jam tertentu yang dibolehkan.
Apa yang terjadi kemudian?
Ternyata, tak seorangpun yang mengikuti tantangan Cal itu sampai jadi edan atau stres gara-gara “puasa internet” itu.
Demikian sebagaimana ditulis oleh Eric Barker dalam artikelnya This Is The Most Powerful Way to Make Your Life Fantastic, yang mengutip hasil riset Cal Newport.
Memang, tulis Eric, awalnya transisi itu berat bagi kebanyakan dari mereka yang mengikuti tantangan Cal Newport. Tapi setelah itu, bagi sebagian terbesar mereka, batasan-batasan tersebut justru akhirnya benar-benar mengubah kehidupannya jadi lebih baik.
Mereka jadi lebih happy, dan lebih produktif. Mereka juga lebih bisa menghabiskan waktu berkualitas (quality time) bersama anak-anak atau keluarganya.
Seorang ayah (yang mengikuti riset tantangan dari Cal Newport) mengungkapkan, awalnya memang seperti aneh dirinya menjadi satu-satunya orangtua yang tidak pegang ponsel di tengah para orangtua lain yang asyik dengan ponselnya masing-masing, saat menemani anaknya bersama kawan-kawannya bermain di taman.
Tapi kemudian ia menjadi terbiasa dan bahkan nyaman. Sindrom “gelisah karena tak bawa ponsel” bisa diatasinya.
Riset menunjukkan, 70 persen kebahagiaan berasal dari relationship atau hubungan.
Berkebalikan dari keyakinan umum bahwa kebahagiaan itu tergantung pada kepemilikan harta berlimpah, para peneliti telah berhasil mengidentifikasi faktor-faktor apa yang berpengaruh pada kebahagiaan hidup.
Faktor-faktornya antara lain jumlah teman, kedekatan pertemanannya, kedekatan dalam keluarga, dan kedekatan hubungan dengan rekan kerja serta tetangga. Semua faktor itu mempengaruhi 70 persen kebahagiaan seseorang (personal happiness).
Lantas apa faktor yang sesungguhnya bisa dikendalikan, namun dalam kenyataan faktor itu justru merampas waktu berkualitas dalam relationship anda?
Menurut temuan, jawabannya adalah: ponsel, internet, dan pertemanan semu (pseudo relationship) di media sosial alias medsos !