Memaknai Nyepi, Begini Penjelasan Ida Rsi Terkait Sasih Mala hingga Fenomena Ogoh-ogoh di Bali

Memaknai Nyepi, Begini Penjelasan Ida Rsi Terkait Sasih Mala hingga Fenomena Ogoh-ogoh di Bali

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Putu Supartika
Ogoh-ogoh Tedung Agung di Banjar Tainsiat, Denpasar. Memaknai Nyepi, Begini Penjelasan Ida Rsi Terkait Sasih Mala hingga Fenomena Ogoh-ogoh di Bali 

"Namun sayang sasih katiga ini, jarang bahkan tidak pernah dilaksanakan pecaruan, padahal sasih ini adalah sasih mala atau tenget sama dengan ketiga sasih yang lain," kata beliau. 

Baca juga: Jelang Nyepi, Ratusan Miniatur, Tapel hingga Sketsa Ogoh-ogoh Dipamerkan di Denpasar

Lalu sasih kaenem, yang juga disebut sasih mala sehingga pada sasih kaenem dilakukan upacara nangluk merana.

"Biasanya setiap desa di Bali melakukan pecaruan dan palelawatan di pura. Kemudian melakukan upacara memintar (keliling menuju perbatasan Desa)," kata beliau. 

Berikutnya sasih kesanga, adalah sasih yang juga disebut sasih mala, sehingga setiap sasih kesanga digelar tawur agung kesanga.

Terakhir, sasih sada atau disebut mala sada. Dalam sasih mala sada biasanya di beberapa tempat melakukan pecaruan.

"Kalau kita lihat kedudukan sasih tersebut dengan ilmu perbintangan, maka keempat sasih tersebut merupakan sasih pancaroba (bulan penggantian cuaca), misalnya sasih kesanga pergantian dari musuh hujan ke musim kering, dan seterusnya," jelas mantan jurnalis ini. 

Ogoh-ogoh Saat Ngerupuk
Dari paparan tersebut, kata Ida Rsi, dapat dijelaskan bahwa inti dari ritual tawur agung adalah untuk membersihkan alam semesta ini.

Sehingga dalam tawur ada ritual nyomya bhuta, yang artinya bahwa hal-hal yang bersifat bhuta (penyakit, kekerasan, situasi tidak bersahabat dan lainnya) bisa hilang dan menjadi ketenangan, ketentraman, kesehatan, kebahagiaan. 

Nyomya juga berarti mengubah sifat kebhutaan diubah menjadi sifat kedewataan.

Oleh karena itu, setelah upacara tawur, maka saat sandikala (sore menuju malam), diadakan upacara mebuu-buu, yaitu membunyikan kentongan, kaleng, bambu, atau benda-benda yang bisa disuarakan keliling rumah didahului dengan membawa prakpak (obor dari daun kelapa kering), dan sambil menyemburkan mesui, dengan tujuan menghilangkan hal-hal negatif menjadi positif.

Upacara mebuu-buu ini juga disebut upacara ngerupuk.

Sejak Nyepi dinyatakan sebagai hari libur nasional, pengerupukan disambut dengan suka cita. Lalu timbul lah ogoh-ogoh sebagai pelengkap pangerupukan. 

Hal ini mendapat sambutan dari anak-anak muda yang kreatif untuk menyalurkan bakat seninya, sehingga seolah-olah Nyepi tanpa ogoh-ogoh rasanya hambar.

Ogoh-ogoh Sang Maungpati Banjar Gemeh Denpasar.
Ogoh-ogoh Sang Maungpati Banjar Gemeh Denpasar. (Dok. Instagram @st.gemehindah)

"Pertanyaannya apakah kalau tidak ada arak-arakan ogoh-ogoh saat pangerupukan, apa baik buruknya?" katanya. 

Ogoh-ogoh tidak berkaitan langsung dengan Nyepi, karena saat tawur pagi hari sudah ada upacara nyomya.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved