Berita Bali
Rencana Pembukaan Pariwisata Bali, Kuta Tak Masuk Zona Hijau, Praktisi: Kebijakan Borjuis & Tak Adil
Rencana Pembukaan Pariwisata Bali, Kuta Tak Masuk Zona Hijau, Praktisi: Kebijakan Borjuis & Tak Adil
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Widyartha Suryawan
"Saya ingin memberikan harapan semangat kepada masyarakat pariwisata dan ekonomi kreatif, khususnya di Bali, bahwa help on the way. Pembukaan Bali is on the way. Jadi kita harus semangat dan termotivasi," tegas Sandiaga.
"Yang menjadi unggulan kita program adalah pariwisata yang berkualitas, pariwisata yang berkelanjutan dengan melibatkan desa wisata. Sehingga nanti walaupun tiga zona yang ditunjuk jadi green zone yakni Nusa Dua, Ubud dan Sanur ini akan kita perluas lagi dengan mencakup desa-desa wisata," papar Menparekraf.
Borjuis dan Tidak Adil
Terpisah, praktisi pariwisata yang juga Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Legian, Wayan Puspa Negara mengatakan, kebijakan Free Covid Corridor (Zona Bebas Covid) di tiga wilayah yakni Sanur, Nusa Dua, dan Ubud tidak adil bagi masyarakat.
Kebijakan itu sendiri, menurut dia terlalu, berpihak kepada para taipan pariwisata dan bukan masyarakat kecil.
“Kebijakan FCC (free covid corridor) pada 3 zona (Nusa Dua, Sanur dan Ubud) adalah kebijakan yang tidak adil dan accomodation centris. Ini sebuah kebijakan elitis/borjuis pariwisata yang sangat parsial,” kata dia, Rabu.

Menurut mantan Anggota DPRD Badung ini, kebijakan tersebut hanya berfokus pada akomodasi yang berada di tiga wilayah tersebut.
Padahal, seharusnya kebijakan tersebut dilakukan secara menyeluruh bagi seluruh kawasan wisata di Bali.
“Dan hanya melihat pariwisata itu hanya sebagai sebuah akomodasi, hotel dan restoran) yang dibuat FCC hanya Nusa Dua, Sanur dan Ubud. Mereka lupa bahwa Bandara Ngurah Rai sebagai palang pintu utama dengan masyarakat penyokongnya harus di-FCC terlebih dahulu dan bandara ada di Kecamatan Kuta,” tegasnya.
Apalagi, pariwisata menurutnya bukan hanya mengenai hotel dan restoran semata.
Melainkan sebuah ekosistem yang multikompleks dan melibatkan banyak masyarakat dari hulu hingga ke hilir.
“Demikian juga pariwisata itu bukan hanya hotel dan restoran. Pariwisata itu elementnya sangat multikompleks, dari destinasi (objek wisata), atraksi, transportasi, eksebisi, akal budhi/budaya, konferensi, biro perjalanan, supplier hingga petani yang merawat alam adalah pariwisata,” ungkapnya.
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Uno : Pembukaan Bali is On The Way
Ia juga menyebutkan, kebijakan FCC tersebut melukai hati para rakyat kecil yang menjadi pelaku pariwisata.
Pasalnya, kebijakan tersebut dilakukan secara tidak adil dan sangat parsial, karena tidak memikirkan dan mencermati bahwa pariwisata harus terintegrasi dan berpihak kepada rakyat kecil.
“Jadi kebijakan FCC ini pada 3 zona itu memang terlihat tidak adil, sangat parsial dan tidak mampu memcermati secara tajam bahwa pariwisata itu terintegrasi inter dan antara semua elemen, dan endingnya untuk rakyat, maka yang harus dipahami adalah pariwisata kerakyatan karena saat ini yang menderita dan lumpuh layu adalah rakyat yang bergelut langsung di sektor pariwisata,” ungkapnya.
Puspa Negara juga mencontohkan bahwa seharusnya yang diselamatkan terlebih dahulu adalah pariwisata berbasis rakyat seperti yang ada di wilayah Kuta.
Di kawasan tersebut, kata dia, pariwisata dibentuk dan dikelola oleh masyarakat, termasuk desa adat.
Ia juga mendorong agar kawasan Kuta dan Legian masuk dalam kebijakan FCC tersebut. (*)