Berita Bali
Rencana Pembukaan Pariwisata Bali, Kuta Tak Masuk Zona Hijau, Praktisi: Kebijakan Borjuis & Tak Adil
Rencana Pembukaan Pariwisata Bali, Kuta Tak Masuk Zona Hijau, Praktisi: Kebijakan Borjuis & Tak Adil
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Setahun tak menerima wisatawan mancanegara akibat pandemi Covid-19 yang berkepanjangan telah membuat perekonomian Bali hancur.
Pelaku industri pariwisata di Bali pun kian menjerit.
Namun, Bali selalu mendapat perhatian pusat.
Sejumlah pejabat penting, termasuk Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno hingga Presiden Joko Widodo bahkan langsung datang ke Bali untuk memastikan sektor pariwisata bisa dibuka segera.
Rabu 17 Maret 2021 kemarin, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) menggelar Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Rencana Pemulihan Perekonomian Bali di Politeknik Pariwisata Bali, Badung.
Rapat tersebut dalam rangka menindaklanjuti arahan yang disampaikan Presiden Jokowi menyiapkan Bali dapat menerima kunjungan wisatawan mancanegara (Wisman) di pertengahan tahun, antara bulan Juni-Juli 2021.
Rakor Tingkat Menteri ini dihadiri oleh Menparekraf Sandiaga Salahuddin Uno, Wamenparekraf Angela Tanoesoedibjo, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menkominfo Johnny G Plate, Gubernur Bali Wayan Koster dan Wagub Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati.
Sementara Menkumham, Menteri BUMN, Ketua Satgas Covid-19, Menkes dan Menhub turut hadir, namun diwakilkan oleh perwakilan yang ditunjuk.

"Tadi kami membahas dengan Bu Menlu dan perwakilan Kementerian dan Lembaga yang membidangi. Tadi semua sudah memberi masukan dan kita sudah mencapai kesepakatan bahwa kita memulai proses finalisasi dari persiapan kita dengan konsep Travel Corridor Arrangement (TCA)," ujar Sandiaga.
Adapun negara-negara yang bakal dijajaki TCA dengan Indonesia, khususnya Bali, diutamakan yang tingkat vaksinasinya tinggi, yang memiliki risiko hubungan timbal balik, menerapkan protokol 3T-nya secara kuat, hingga negara-negara yang memiliki letter home policy-nya yang sesuai dengan kebutuhan faktor kesehatan Indonesia.
"Tadi yang sudah disebut beberapa negara. Untuk Bali, ada Belanda, Tiongkok, Singapura, Dubai atau Timur Tengah lain nanti kita pilih. Jadi ada beberapa negara tadi yang dibicarakan, tapi nanti finalisasinya tergantung dengan TCA masing-masing negara," kata Sandiaga.
Dalam rakor juga terungkap bahwa wilayah di Bali yang akan dibuka untuk menerima kunjungan wisatawan mancanegara sementara hanya di zona hijau yaitu Nusa Dua, Sanur, dan Ubud.
Baca juga: Praktisi Pariwisata Kritik Kebijakan Free Covid Corridor, Sebut Tak Berpihak Pada Masyarakat Kecil
"Harus ada simulasi dan harus ada trial atau uji coba pilot project. Mungkin trial pilot project ada dua charter flight yang datang, terus kita pantau betul. Sebelum itu mungkin wisatawan nusantara juga kita lakukan hal yang sama simulasikan. Zona hijau ini digenjot vaksinasinya, ditingkatkan protokol kesehatannya, dan dikuatkan 3T," tambah Menparekraf.
Bersamaan dengan sejumlah langkah penekanan angka penyebaran Covid-19 itu, pihaknya berkolaborasi dengan Kementerian Luar Negeri dalam merampungkan kebijakan konsep TCA.
Kebijakan tersebut nantinya disampaikan kepada Jokowi untuk disahkan sebagai dasar pembukaan pariwisata nasional pasca pandemi Covid-19.
"Saya ingin memberikan harapan semangat kepada masyarakat pariwisata dan ekonomi kreatif, khususnya di Bali, bahwa help on the way. Pembukaan Bali is on the way. Jadi kita harus semangat dan termotivasi," tegas Sandiaga.
"Yang menjadi unggulan kita program adalah pariwisata yang berkualitas, pariwisata yang berkelanjutan dengan melibatkan desa wisata. Sehingga nanti walaupun tiga zona yang ditunjuk jadi green zone yakni Nusa Dua, Ubud dan Sanur ini akan kita perluas lagi dengan mencakup desa-desa wisata," papar Menparekraf.
Borjuis dan Tidak Adil
Terpisah, praktisi pariwisata yang juga Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Legian, Wayan Puspa Negara mengatakan, kebijakan Free Covid Corridor (Zona Bebas Covid) di tiga wilayah yakni Sanur, Nusa Dua, dan Ubud tidak adil bagi masyarakat.
Kebijakan itu sendiri, menurut dia terlalu, berpihak kepada para taipan pariwisata dan bukan masyarakat kecil.
“Kebijakan FCC (free covid corridor) pada 3 zona (Nusa Dua, Sanur dan Ubud) adalah kebijakan yang tidak adil dan accomodation centris. Ini sebuah kebijakan elitis/borjuis pariwisata yang sangat parsial,” kata dia, Rabu.

Menurut mantan Anggota DPRD Badung ini, kebijakan tersebut hanya berfokus pada akomodasi yang berada di tiga wilayah tersebut.
Padahal, seharusnya kebijakan tersebut dilakukan secara menyeluruh bagi seluruh kawasan wisata di Bali.
“Dan hanya melihat pariwisata itu hanya sebagai sebuah akomodasi, hotel dan restoran) yang dibuat FCC hanya Nusa Dua, Sanur dan Ubud. Mereka lupa bahwa Bandara Ngurah Rai sebagai palang pintu utama dengan masyarakat penyokongnya harus di-FCC terlebih dahulu dan bandara ada di Kecamatan Kuta,” tegasnya.
Apalagi, pariwisata menurutnya bukan hanya mengenai hotel dan restoran semata.
Melainkan sebuah ekosistem yang multikompleks dan melibatkan banyak masyarakat dari hulu hingga ke hilir.
“Demikian juga pariwisata itu bukan hanya hotel dan restoran. Pariwisata itu elementnya sangat multikompleks, dari destinasi (objek wisata), atraksi, transportasi, eksebisi, akal budhi/budaya, konferensi, biro perjalanan, supplier hingga petani yang merawat alam adalah pariwisata,” ungkapnya.
Baca juga: Menparekraf Sandiaga Uno : Pembukaan Bali is On The Way
Ia juga menyebutkan, kebijakan FCC tersebut melukai hati para rakyat kecil yang menjadi pelaku pariwisata.
Pasalnya, kebijakan tersebut dilakukan secara tidak adil dan sangat parsial, karena tidak memikirkan dan mencermati bahwa pariwisata harus terintegrasi dan berpihak kepada rakyat kecil.
“Jadi kebijakan FCC ini pada 3 zona itu memang terlihat tidak adil, sangat parsial dan tidak mampu memcermati secara tajam bahwa pariwisata itu terintegrasi inter dan antara semua elemen, dan endingnya untuk rakyat, maka yang harus dipahami adalah pariwisata kerakyatan karena saat ini yang menderita dan lumpuh layu adalah rakyat yang bergelut langsung di sektor pariwisata,” ungkapnya.
Puspa Negara juga mencontohkan bahwa seharusnya yang diselamatkan terlebih dahulu adalah pariwisata berbasis rakyat seperti yang ada di wilayah Kuta.
Di kawasan tersebut, kata dia, pariwisata dibentuk dan dikelola oleh masyarakat, termasuk desa adat.
Ia juga mendorong agar kawasan Kuta dan Legian masuk dalam kebijakan FCC tersebut. (*)