Berita Bali
Praktisi Pariwisata Kritik Kebijakan Free Covid Corridor, Sebut Tak Berpihak Pada Masyarakat Kecil
Kebijakan Free Covid Corridor (Zona Bebas Covid) di tiga wilayah yakni Sanur, Nusa Dua, dan Ubud mendapat kritikan dari pelaku pariwisata Bali.
Penulis: Ragil Armando | Editor: Noviana Windri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kebijakan Free Covid Corridor (Zona Bebas Covid) di tiga wilayah yakni Sanur, Nusa Dua, dan Ubud mendapat kritikan dari pelaku pariwisata Bali.
Praktisi Pariwisata yang juga Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Legian, Wayan Puspa Negara mengatakan bahwa kebijakan tersebut menurutnya tidak adil bagi masyarakat.
Kebijakan itu sendiri menurut dia terlalu berpihak kepada para taipan pariwisata dan bukan masyarakat kecil.
“Kebijakan FCC (free covid corridor) pada 3 zona (Nusa Dua, Sanur & Ubud) adalah kebijakan yang tidak adil dan accomodation centris. ini sebuah kebijakan elitis/borjuis pariwisata yang sangat parsial,” kata dia saat dihubungi, Rabu 17 Maret 2021.
Menurut mantan Anggota DPRD Badung ini kebijakan tersebut hanya berfokus pada akomodasi yang berada di tiga wilayah tersebut.
Baca juga: Uji Coba Pertengahan Tahun Ini, Jokowi: Pariwisata Bali Buka Jika Covid-19 Landai
Baca juga: Kasus COVID-19 Menurun, Menparekraf: Kita Mulai Persiapan Membuka Kembali Pariwisata untuk Wisman
Baca juga: Presiden Jokowi Prediksi Juni-Juli Ini, Pariwisata Bali Akan Bangkit Kembali
Padahal, seharusnya kebijakan tersebut dilakukan secara menyeluruh bagi seluruh kawasan wisata di Bali.
“Dan hanya melihat pariwisata itu hanya sebagai sebuah akomodasi, hotel dan restaurant) yang di buat FCC hanya Nusa Dua, Sanur dan Ubud, mereka lupa bahwa Bandara Ngurah Rai sebagai palang pintu utama dengan masyarakat penyokongnya harus di FCC terlebih dahulu dan bandara adanya di Kecamatan Kuta,” tegasnya.
Apalagi, pariwisata sendiri menurutnya bukan hanya mengenai hotel dan restoran semata.
Melainkan sebuah ekosistem yang multi kompleks dan melibatkan banyak masyarakat dari hulu hingga ke hilir.
“Demikian juga pariwisata itu bukan hanya hotel dan restoran, pariwisata itu elementnya sangat multi kompleks, dari destinasi (objek wisata), atraksi, transportasi, eksebisi, akal budhi/budaya, konferensi, biro perjalanan, supplier hingga petani yang merawat alam adalah pariwisata,” ungkapnya.
Ia juga menyebut bahwa kebijakan FCC tersebut melukai hati para rakyat kecil yang menjadi pelaku pariwisata.
Pasalnya, kebijakan tersebut dilakukan secara tidak adil dan sangat parsial, karena tidak memikirkan dan mencermati bahwa pariwisata harus terintegrasi dan berpihak kepada rakyat kecil.
“Jadi kebijakan FCC ini pada 3 zona itu memang terlihat tidak adil, sangat parsial dan tidak mampu memcermati secara tajam bahwa pariwisata itu terintegrasi inter dan antara semua elemen, dan endingnya untuk rakyat, maka yang harus di pahami adalah pariwisata kerakyatan karena saat ini yang menderita dan lumpuh layu adalah rakyat yang bergelut langsung di sektor pariwisata,” ungkapnya.
Puspa Negara juga mencontohkan bahwa seharusnya yang diselamatkan terlebih dahulu adalah pariwisata berbasis rakyat seperti yang ada di wilayah Kuta.
Pasalnya, di kawasan tersebut pariwisata dibentuk dan dikelola oleh masyarakat, termasuk desa adat di dalamnya.