Vaksinasi
AstraZeneca Tegaskan Vaksin Buatannya Tidak Mengandung Babi
Perusahaan farmasi dan biofarmasi yang berkantor pusat di Cambridge, Inggris itu menyatakan vaksin buatannya tidak mengandung babi dan hewan lain.
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Produsen vaksin AstraZeneca membantah pernyataan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyebut bahwa vaksin Covid-19 buatan mereka mengandung babi.
Perusahaan farmasi dan biofarmasi yang berkantor pusat di Cambridge, Inggris itu menyatakan vaksin buatannya tidak mengandung babi dan hewan lain dalam proses pembuatannya.
”Semua tahapan proses produksi vaksin ini tidak menggunakan dan bersentuhan dengan produk turunan babi atau produk hewani lainnya,” demikian pernyataan AstraZeneca dalam keterangan tertulisnya, Minggu 21 Maret 2021.
Baca juga: Jangan Cemas Gunakan Vaksin AstraZeneca, BPOM dan MUI Sudah Keluarkan Rekomendasi
Baca juga: Dapat Rekomendasi BPOM dan MUI, Vaksin Covid-19 AstraZeneca Akan Didistribusikan Mulai Pekan Depan
Dalam pernyataan itu, vaksin AstraZeneca disebut merupakan vaksin vektor virus yang tidak mengandung produk yang berasal dari hewan sebagaimana yang telah dikonfirmasi Badan Otoritas Produk Obat dan Kesehatan Inggris.
Vaksin ini menurut AstraZeneca telah disetujui lebih dari 70 negara di seluruh dunia. Di antaranya Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Kuwait, Bahrain, Oman, Mesir, Aljazair dan Maroko.
Tak hanya itu, banyak Dewan Islam di seluruh dunia juga telah telah menyatakan sikap bahwa vaksin ini diperbolehkan untuk digunakan umat Muslim.
”Vaksin Covid-19 AstraZeneca aman dan efektif dalam mencegah Covid-19. Uji klinis menemukan bahwa vaksin Covid-19 AstraZeneca 100 persen dapat melindungi dari penyakit yang parah, rawat inap dan kematian, lebih dari 22 hari setelah dosis pertama diberikan," tambahnya.
AstraZeneca mengklaim vaksin buatan mereka aman dan efektif dalam mencegah Covid-19.
Hasil uji klinis menemukan bahwa vaksin Covid-19 AstraZeneca 100 persen dapat melindungi dari penyakit yang parah, rawat inap dan kematian, lebih dari 22 hari setelah dosis pertama diberikan.
”Penelitian vaksinasi yang dilakukan AstraZeneca berdasarkan model penelitian dunia nyata (real world) menemukan fakta bahwa satu dosis vaksin mengurangi risiko rawat inap hingga 94 persen di semua kelompok umur, termasuk bagi mereka yang berusia 80 tahun ke atas," kata pihak AstraZeneca.
Selain itu penelitian lain juga menunjukkan bahwa vaksin dapat mengurangi tingkat penularan penyakit hingga dua pertiga.
”Semua vaksin, termasuk Vaksin Covid-19 AstraZeneca merupakan bagian penting dalam menanggulangi pandemi Covid-19 agar dapat memulihkan keadaan di Indonesia agar dapat memulihkan perekonomian Indonesia secepatnya," kata AstraZeneca.
Sebelumnya Komisi fatwa MUI menyatakan bahwa vaksin AstraZeneca haram digunakan lantaran mengandung unsur babi dalam pembuatannya.
”Vaksin AstraZeneca memanfaatkan tripsin (enzim berasal dari babi) dalam proses pembuatannya," kata Ketua Bidang Fatwa MUI Asrorun Niam, Jumat 19 Maret 2021.
Meski begitu, MUI tetap membolehkan penggunaan vaksin tersebut. Niam menjelaskan, ada 5 pertimbangan mengapa vaksin AstraZeneca tetap boleh digunakan meskipun haram.
Pertama, karena kondisi kebutuhan yang mendesak atau hajjah asyariah dalam konteks fiqh yang menduduki kedudukan darurat syari atau darurat syariah.
Kedua, karena ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang bahaya atau risiko fatal jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19.
Ketiga, lantaran ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid guna ikhtiar mewujudkan herd immunity.
Keempat, ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah sesuai penjelasan saat komisi fatwa melakukan kajian.
Terakhir karena pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia baik di Indonesia dan tingkat global
Meski demikian, MUI menyatakan akan mencabut izin penggunaan vaksin AstraZeneca saat vaksin merk lain yang hasil kajiannya halal dan suci tiba di Indonesia.
"Intinya vaksin AstraZeneca mengandung unsur vaksin dari babi sehingga hukumnya haram. Namun demikian boleh digunakan karena dalam kondisi darurat untuk mencegah bahaya pandemi Covid-19," jelas Ketua Komisi Fatwa MUI, Hasanuddin Abdul Fatah.
Lima Kaidah
Sementara itu epidemiolog dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga, Dr. dr. M. Atoillah Isfandi, M.Kes, memberikan pandangannya terkait konteks kehalalan vaksin AstraZeneca ini.
Menurut dia, secara sederhana, ada 3 hal yang menjadi pertimbangan haramnya suatu vaksin.
”Bahannya mengandung bahan haram atau dibuat dengan cara yang haram, dalam proses pembuatan vaksin itu melanggar hukum syariah. Dan tidak jelas manfaat suatu vaksin apalagi jika mudaratnya jauh lebih besar. Jadi hukum haram tidak hanya dipandang dari kandungan bendanya, tetapi juga pada proses maupun manfaatnya,” terang Atoilah.
Ia kemudian menjelaskan 5 kaidah yang menjadi pertimbangan dalam menentukan halal dan haramnya suatu vaksin. Kaidah-kaidah ini dia sarikan dari berbagai dalil yang ada di dalam Al-Quran dan Hadist.
Menurut Atoilah yang pertama adalah kaidah Yakin. ”Jika ini masih tahap percobaan seperti clinical trial fase-1, dan setelah itu langsung dikomersilkan atau langsung dipakai, maka itu melanggar kaidah yang pertama dan itu hukumnya haram, meskipun kita memakai benda yang suci,” kata Atoilah.
Yang kedua adalah kaidah Niat. ”Artinya, sebagus apapun bendanya, proses pembuatannya, namun jika tujuannya untuk kemudharatan (keburukan) pasti haram,” tegas Atoilah.
Lalu yang ketiga adalah kaidah Masyaqqat. ”Artinya, jangan sampai dalam proses vaksinasi nantinya menimbulkan penyakit yang lain. Apabila efek samping yang ditimbulkan dari vaksinasi ini cukup besar, maka vaksin itu menjadi haram. Misalkan setelah divaksinasi nantinya akan menyebabkan kanker, maka hal itu tidak boleh,” ujarnya.
Yang keempat adalah kaidah Adh dhararu, maksudnya kaidah kedaruratan. Jadi dalam kondisi darurat, hal-hal yang menyebabkan haram itu kemudian dapat gugur.
"Jadi meski ada unsur babinya, namun karena ini darurat, maka menjadi halal. Hingga nanti menemukan vaksin yang tidak menggunakan tripsin dari babi, maka vaksin yang ada hari ini tetap halal. Saat nanti ditemukan vaksin dengan tripsin dari sapi atau status pandemi Covid-19 ini berubah menjadi endemi saja, barulah dapat dikatakan kedaruratan dari permasalahan ini sudah lewat," tuturnya.
"Maka ketika vaksinasi Covid-19 ini menjadi efektif, di situlah kemudian masyarakat bisa memilih vaksin yang benar-benar halal. Pernyataan bahwa vaksin Covid-19 AstraZeneca ini haram tetapi boleh digunakan dari MUI menurut saya berasal sudut pandang ini,” papar Atoilah.
Dan terakhir yang kelima adalah kaidah Al Urf. Ini adalah terkait dengan kearifan lokal. “Saya kira kalau poin yang ini kurang cocok untuk diimplementasikan dalam vaksin. Al Urf ini contohnya acara selamatan. "Selama itu tidak melanggar akidah intinya, boleh,” ujarnya.
Lebih lanjut Atoilah menjelaskan bahwa tripsin babi yang digunakan dalam proses pembuatan vaksin AstraZeneca itu dilakukan pada proses awal penanaman untuk menumbuhkan virus pada sel inang.
”Setelah virus ditanam kemudian tumbuh, maka virusnya dipanen. Pada proses itu menurut saya, pada dasarnya tidak ada persentuhan lagi antara tripsin dan si virus karena urusan si tripsin ini hanya dengan media tanamnya. Untuk itu, di produk akhir vaksin Covid-19 AstraZeneca sudah tidak ada unsur babi sama sekali. Ibarat analoginya jika kita menanam pohon, menggunakan pupuk kandang yang kandungannya termasuk najis, tetapi ketika menghasilkan buah, maka si buah tidak lantas menjadi najis juga,” tegas Atoilah.
”Kemarin saya juga sudah konfirmasi ulang ke pihak AstraZeneca, dan ternyata mereka tidak melibatkan tripsin dalam proses pemisahan. Tripsin itu hanya digunakan untuk media pembiakan. Jadi menurut saya, vaksin ini lebih aman dan halal,” tambah Atoilah.(tribun network/rzk/rin/dod)
Ikuti berita terkait Vaksin Covid-19