Berita Denpasar
Tradisi Macandu Saat Umanis Galungan di Banjar Dualang Denpasar, Saling Ledek dengan Sebutan ‘Kiul’
Sekitar pukul 04.00 Wita, anak-anak, remaja hingga orang tua di wilayah Banjar Dualang, Desa Peguyangan Kaja berkeliling
Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sekitar pukul 04.00 Wita, anak-anak, remaja hingga orang tua di wilayah Banjar Dualang, Desa Peguyangan Kaja, Denpasar, Bali, berkeliling banjar.
Mereka mengelilingi banjar sebanyak empat kali dengan membawa aneka benda yang bisa menghasilkan suara.
Semisal kaleng, cengceng, tawa-tawa, ponggang, maupun alat lain yang bisa mengeluarkan suara saat dipukul.
Mereka membangunkan setiap warga yang belum terbangun.
Baca juga: Volume Sampah di Karangasem Meningkat hingga 50 Persen Sejak 5 Hari Sebelum Galungan
Baca juga: Umanis Galungan, Kunjungan Wisatawan di Objek Wisata Sangeh Badung Alami Peningkatan
Baca juga: Manis Galungan, Satpol PP Badung Turunkan 90 Personel Lakukan Penjagaan di Tempat Wisata
Dalam perjalanan keliling banjar peserta juga sambil bercanda serta saling ledek.
Dan jika ada yang belum bangun maka akan diteriaki “kiul” (nakal) agar mereka bangun.
Kegiatan ini berlangsung dengan penuh suka cita dalam merayakan hari kemenangan dharma melawan adharma.
Kelian Banjar Dualang, I Made Mertajiwa mengatakan tradisi ini bernama Macandu yang digelar setiap enam bulan sekali tepatnya pada Umanis Galungan yang saat ini jatuh pada Kamis 15 April 2021.
Istilah macandu berasal dari kata macanda, yang kemudian disebut dengan macandu.
Seusai berkeliling banjar, para peserta kemudian menuju ke Tukad Rarangan yang berada di timur banjar dekat dengan Pura Desa.
Di sana mereka mandi dengan tujuan untuk membersihkan diri.
“Prosesinya diawali dengan keliling desa membawa alat-alat yang bisa menghasilkan bunyi untuk membangunkan warga. Setelah itu mereka membersihkan diri ke Tukad Rarangan dan ini diistilahkan dengan tradisi macandu,” katanya saat dihubungi Kamis 15 April 2021.
Biasanya warga akan mulai datang ke Tukad Rarangan sekitar pukul 05.30 Wita.
Mertajiwa mengatakan, tradisi ini telah digelar secara turun-temurun setiap enam bulan sekali.
“Sejarahnya yang pasti belum ada, tapi dituturkan secara turun-temurun. Saat Galungan kan ada istilahnya natab banten Galungan, dan perlu juga membersihkan diri sehingga dilakukanlah tradisi macandu ini,” katanya.
Sebelum tradisi ini dilakukan, pada malam hari sebelumnya aliran air Tukad Rarangan terlebih dahulu dihambat (diempel) dengan menggunakan bambu yang diisi kampil.
Dahulu, yang digunakan untuk menghambat air adalah batang pisang, namun karena sulit mencari batang pisang, maka diganti dengan bambu.
“Karena airnya kecil, makanya dihambat sehingga akan tergenang dan agak tinggi, nah di sanalah mereka akan mandi ramai-ramai,” katanya.
Peserta yang ikut dalam tradisi ini pun bebas, mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Bahkan sebelum-sebelumnya, jika ada anak kecil yang sudah bisa berjalan dan bisa mandi di sungai juga akan diajak.
“Dulu mereka membawa canang. Sebelum mandi mereka akan menghaturkan canang itu di hulu sungai dan di tempat mereka mandi. Kadang-kadang anak kecil yang baru pertama ke sungai kan terkejut, jadinya dengan canang itu kita meminta izin,” katanya.
Seiring berjalannya waktu, hanya yang mengawali saja membawa canang dan menghaturkannya.
Meskipun dalam suasana pandemi Covid-19 tradisi ini tetap digelar dengan memperhatikan protokol kesehatan.
(I Putu Supartika)