Pura di Bali
Ini Kisah Dibalik Tradisi Pangrebongan di Desa Adat Kesiman Denpasar
dikisahkan raja Bali kemudian digempur oleh Kerajaan Majapahit. Dipimpin patih agung Gajah Mada.
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Ngerebong adalah satu diantara upacara, dengan tarian sakral yang sangat terkenal dari Bali.
Tarian ini sudah ada sejak abad ke-16, dan masih lestari berlangsung hingga detik ini.
Sejatinya ngerebong dilakukan, agar terjadi keseimbangan di Kesiman dan sekitarnya.
Lalu seperti apa kisah dibaliknya, berikut ulasan I Wayan Turun, Warga Banjar Kedaton, Desa Adat Kesiman, Denpasar.
Baca juga: Gerabah Binoh Nyaris Punah, Disbud Denpasar Akan Segera Lakukan Kajian
Tetua Kesiman ini, memulai kisah dari zaman kerajaan di Kesiman.
Kala itu, Bali masih dikuasai Kerajaan Bedahulu.
Dengan rajanya adalah Sri Astasura Ratna Bumi Banten sekitar tahun Saka 1259.
Menurut prasasti Langgahan, bertuliskan aksara Jawa Kuna dikisahkan raja Bali kemudian digempur oleh Kerajaan Majapahit. Dipimpin patih agung Gajah Mada.
"Kemudian Bedahulu berhasil dikalahkan oleh Majapahit sekitar tahun Saka 1265. Ini saya lihat dari beberapa sumber termasuk Negarakertagama," sebutnya kepada Tribun Bali, Minggu 25 April 2021.
Setelah kekalahan itu, Majapahit mengambil alih Pulau Dewata.
Tak lama kemudian, diutus adipatinya untuk menjadi raja di Bali. Yakni Sri Aji Kresna Kepakisan dengan pusat pemerintahan di Samprangan. Memimpin Bali sekitar tahun 1272 Saka.
"Kedatangan beliau diiringi para arya, untuk memimpin wilayah-wilayah yang ada di Bali," jelasnya.
Ada Arya Delancang, Arya Kenceng di Tabanan. Arya Belog di Kaba-kaba, Arya Kutawaringin di Gel-gel. Arya Kepakisan di Nyuh Aya, Arya Wang Bang Pinatih yang berkuasa di Kertalangu. Serta masih banyak lagi, arya lainnya.
"Beliau (Arya Wang Bang Pinatih) menjadi raja di Kertalangu, kemudian beberapa keturunannya bernama Arya Pinatih atau I Gusti Ngurah Pinatih," sebut pria lanjut usia ini.
Baca juga: Cegah Klaster Kuningan, Tim Pemburu Pelanggar Prokes Polda Bali Sambangi Pura Jagatnatha Denpasar
Biasa juga disebut Gusti Ngurah Gede Pinatih, atau Gusti Ngurah Made Pinatih. Yang ada di Kertalangu.
Diiringi sang raja oleh bagawanta. Yang datangnya dari Klungkung, bernama Ida Pedanda Wayan Bendesa, Ida Pedanda Anom Penida, Ida Pedanda Mas Alangkajeng.
"Karena ada ketidakcocokan antara bagawanta ini dengan raja di Klungkung. Agar tidak ada perang di Gel-gel maka kala itu, beliau kembali dari Gel-gel ke Badung. Bertempat tinggal di Padang Galak diiringi oleh beberapa pasukan-pasukan," katanya.
Bahkan para bagawanta ini, hingga membuat upacara yang disebut Catur Winasa di Tukad Unda.
Setelah selesai bantennya dibuang ke sungai Unda dengan sarana kepala kerbau.
Tujuannya agar tidak ada perang dengan raja. Para bagawanta bertemu dengan penguasa Denpasar, yaitu I Gusti Ngurah Mas Pinatih.
Para bagawanta ini, menjadi bagawan di Kertalangu dan bertempat tinggal di Padang Galak.
Di sisi lain, I Gusti Ngurah Mas Pinatih tidak cocok dengan mertuanya yang bernama Dukuh Mangku Baleagung. Sebab ada disebutkan bahwa mertuanya itu akan moksa.
"Tetapi beliau (raja) tidak percaya mertuanya akan moksa. Kemudian Dukuh berkata pada Gusti Ngurah bahwa ia memiliki sebuah cincin ratna, agar tidak terkena pastu.
Setelah itu, dipastulah dia agar dikalahkan oleh semut. Maksud semut di sini adalah rakyat. Kemudian Dukuh ketika akan moksa, diserbu oleh rakyat Ngurah Pinatih.
Baca juga: Bale Piasan Milik Dosen di Denpasar Bali yang Hangus Terbakar Diduga Karena Dupa
Tepat tengah hari (tengah tepet) Dukuh Baleagung ini benar-benar moksa.
Kala itu, entah darimana datang semut yang banyak. Mengerubungi wilayah Kesiman Kertalangu hingga menggunung bak perahu dan batu.
Konflik kemudian berlanjut, antara Gusti Ngurah Pinatih dengan saudara-saudaranya. Dimana ia mempunyai dua adik, yang merupakan anak selir (panawing) Bernama I Gusti Ngurah Tembau dan I Gusti Ngurah Kepandean. Kala itu raja akan bertolak ke wilayah timur Kesiman. Dan adiknya menolak ikut. Karena itu, dipastulah sang adik oleh raja.
"Sugih gawe kirang pangan, atau banyak memiliki pekerjaan tetapi tidak ada hasil," sebutnya. Demikian bunyi pastu atau kutukannya kepada Ngurah Tembau.
Karena tidak mau mengikuti perjalanan sang raja.
Dikisahkan bahwa Ngurah Tembau menjawab, apabila tidak ada warga Tembau maka pekerjaan tidak akan selesai (ten Wenten wong Tembau, ten puput sida karya).
Dari sanalah hubungan persaudaraan itu putus.
Dengan disaksikan oleh Ida Pedanda Wayan Bendesa, dan Ida Pedanda Made Bendesa saat pemastu putus hubungan saudara antara raja dengan Ngurah Tembau.
Kemudian lokasi tersebut disebut Tangtu, yang memiliki makna pegat menyama (bersaudara).
"Lalu bersuara lah I Kala Bebaung di Uresana Biaung. Beliau adalah sisya dari Ratu Gede Mas Mecaling yang tugasnya memang menjaga di pinggir pantai," ucap pustakawan ini.
Dahulu I Kala Bebaung ini, pernah dipanah oleh ida pedanda. Mati lah I Kala Bebaung dengan suara layaknya pohon Jaka jatuh berbunyi tak beriug sir.
Waktu berjalan, kemudian wilayah Kertalangu mengalami kekosongan. Kala itu, menghadaplah keturunan dari Ngurah Pinatih ke Puri Pamecutan yang bernama Si Nesa Sugriwa.
Ia menghadap ke Pamecutan. Agar ada salah satu anak Raja Sakti Pamecutan menjadi raja di Kertalangu Kesiman.
Menurut sumber Eka Likita Desa Adat Kesiman, Prasasti Dukuh Sakti Bujangga Dewa, Prasasti Brahmana Gria Gede Sanur. Lalu Eka Likita Yowana Dharma Kertih.
Saat menghadap ke Pamecutan, lalu disuruhlah salah satu anak Raja Sakti Pamecutan menjadi pemimpin di Kesiman Kertalangu. Sakti Pamecutan mempunyai tiga anak. Anak pertama Kyai atau Gusti Ngurah Pamecutan (berkuasa di Pamecutan), kedua Kyai Pemayun, dan ketiga Kyai Ngurah Oka (berkuasa di Jero Kaler Kawan).
"Nah Kyai Pemayun ini lah datang ke Kertalangu Kesiman, diiringi oleh Pasek Gunung Sari, Bendesa Pengotan, Tambiak, Pelusung, Seselikan," katanya.
Ia kemudian berkuasa di sana, menghadap lalu bertempat sementara di wilayah Kertalangu.
Sesampai di sana, disambut dengan suara I Kala Bebaung, yang melolong layaknya suara anjing. Hal itu pertanda buruk atau grubug.
Karena itu, beliau pergi dari Kertalangu Padang Galak menuju ke dauh (barat) tukad (sungai) Ayung.
Air sungai Ayung yang selalu besar, membuat ketakutan warga. Sehingga dibuatlah upacara pangruwatan pembersihan. Diiringi beberapa panjak abdi raja.
Dengan membuat upacara ngerebo desa. Atau yang kini dikenal dengan ngerebong. Dengan sarana guling panyujug dari kucit butuan kelamin laki-laki.
Kala itu guling ini dalam posisi majujuk (berdiri), dengan kepala di atas. Dilengkapi bebantenan pangrebongan.
"Kala itu belum ada wantilan seperti sekarang," sebutnya.
Hanya ada tugu saja di tengah-tengah. Tugu itu yang kemudian dikelilingi oleh para pemangku dan pengayah yang ngerebong. Etikanya adalah berkeliling dari kiri (prasawiya), bertujuan ngeruwat atau pembersihan.
Ida bhatara tedun (datang) kala itu, melalui umat yang dipilih oleh beliau lalu kerauhan.
"Beliau melihat bagaimana kondisi damuh (umat) di sini," jelasnya.
Ngerebong sendiri memang artinya berputar. (*)
Artikel lainnya di Pura di Bali