Berita Tabanan

Ngaben Bikul Diiringi Bade Tumpang Pitu di Tabanan, Berharap Hama Tikus Terkendali

Di areal Pura Puseh Luhur Bedha, Tabanan berlangsung ritual Mreteka Merana atau yang lebih dikenal dengan ngaben bikul

Tribun Bali / I Made Prasetia Aryawan
Suasana prosesi ritual Mreteka Merana di Pura Puseh Luhur Bedha, Tabanan, Rabu 5 Mei 2021 - Ngaben Bikul Diiringi Bade Tumpang Pitu di Tabanan, Berharap Hama Tikus Terkendali 

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Di areal Pura Puseh Luhur Bedha, Tabanan berlangsung ritual Mreteka Merana atau yang lebih dikenal dengan ngaben bikul (tikus).

Perwakilan para petani, pekaseh, prajuru subak, perwakilan warga, pemuka agama serta perwakilan jajaran desa adat Bedha sudah berada di areal ini, Rabu 5 Mei 2021 sejak pukul 07.00 Wita.

Sejumlah prosesi kemudian dilaksanakan seperti diawali dengan meprayas bade tumpang pitu bersama 'petulangan' berwujud singa berwana merah.

Selanjutnya dilaksanakan prosesi ngeringkes (memandikan).

Baca juga: Kendalikan Hama Penyakit, Krama Desa Adat Bedha Tabanan Gelar Ritual Ngaben Bikul Besok

Selanjutnya ketika prosesi ngeringkes selesai, dilanjutkan dengan membawa layon tikus ke pantai dengan sarana bade tumpang pitu.

Krama setempat kemudian mengiringi perjalanan menuju Pantai Yeh Gangga, Desa Sudimara Tabanan.

Selanjutnya dilaksanakan proses pengabenan atau pembakaran layon 'Jro Ketut'.

Ketika selesai, proses terakhir adalah nganyud (menghanyutkan) abu ke pantai.

Ritual Ngaben Tikus yang juga disebut dengan Upacara Mrateka Merana bertujuan menyucikan roh/atma hama penyakit supaya kembali ke asalnya sehingga tidak kembali menjelma ke bumi sebagai hama penyakit dan merusak segala jenis tanaman yang ada di bumi, khususnya tanaman padi di wilayah subak areal Desa Adat Bedha.

Raja Tabanan, Ida Cokorda Anglurah Tabanan yang turut serta dalam upacara itu terlihat ikut naik ke atas bade saat perjalanan menuju ke pantai.

Proses pengabenan dilaksanakan di Pantai Yeh Gangga dan dilanjutkan dengan prosesi nganyud atau menghanyutkan abu sisa pengabenan.

"Selesai dibakar, kemudian dihanyutkan ke segara atau laut dengan harapan mereka dapat tempat yang layak. Atau dalam siklus kehidupan berikutnya tidak lagi menjadi hama," ujar Ida Cokorda Anglurah Tabanan di sela upacara.

Menurut Ida Cokorda Anglurah Tabanan, upacara ini perlu dibakukan waktu pelaksanaannya. Ia menyebutkan, kemungkinan lima atau setiap sepuluh tahun sekali dilakukan di seluruh subak yang ada di Tabanan, Bali.

"Jika dulu dilaksanakan sepuluh tahun sekali. Saya rasa perlu dibakukan. Jadi nanti apa sepuluh tahun sekali atau lima tahun sekali. Intinya agar nyambung dengan harapan pemerintah terkait pertanian. Dulu upacara seperti ini dilaksanakan oleh Sabhantara. Ada 365 pekaseh yang melaksanakannya waktu itu," tandasnya.

Sementara itu, Bendesa Adat Bedha, I Nyoman Surata menjelaskan, prosesi upacara Ngaben Bikul ini ada dalam sastra dan ini tidak rutin dilaksanakan setiap tahun, melainkan akan dilaksanakan sesuai dresta.

Artinya, ketika terjadi wabah serangan hama di wilayah subak Desa Adat Bedha yang tak terkendali (merana akeh), ritual ini akan dilaksanakan oleh krama.

Ritual ini diyakini sebagai upacara yang mampu mengendalikan serangan hama pada tanaman warga di subak.

"Ritual Ngaben Bikul (Tikus) ini tak dilaksanakan secara rutin, tapi dilaksanakan ketika ada merana yang tak bisa dikendalikan seperti misalnya saat ini serangan hama tikus yang tak terkendali. Dulu 10 tahun juga sempat dilaksanakan," jelas Surata saat dijumpai di Pura Puseh Luhur Bedha, Rabu.

Dia melanjutkan, prosesnya hampir sama dengan upacara ngaben pada manusia, hanya saja ini untuk "Jro Ketut" atau istilah memuliakan nama tikus dalam bahasa Bali.

Sehingga, jika pada manusia masuk Pitra Yadnya, untuk tikus masuk Butha Yadnya.

Baca juga: UPDATE: Hari Ini Jenazah Bharatu I Komang Wira Dikremasi, Upacara Ngaben Minggu 2 Mei 2021

"Prosesi ritual Ngaben Tikus ini diawali dengan prosesi ngeringkes. Setelah itu menuju pantai dan diaben di pantai. Abunya kemudian dibawa ke laut dengan harapan akan menjelma menjadi yang lebih baik atau tidak menjadi hama yang merusak tanaman. Jadi seolah-olah prosesnya hampir sama dengan ngaben manusia, tapi hanya sampai nganyut di pantai. Artinya, jika kita manusia bernama Pitra Yadnya yang sampai mamukur dan ngelinggihan di merajan. Sedangkan untuk ngaben bikul ini hanya sampai nganyut di pantai karena Butha Yadnya," jelasnya.

(Made Praseia Aryawan)

Kumpulan Artikel Tabanan

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved