Berita Bali

MKKBN Laporkan Sejumlah Pimpinan Lembaga Agama dan Adat di Bali ke Polisi

Majelis Ketahanan Krama Bali Nusantara (MKKBN), menilai penutupan ashram atau sampradaya di Bali selama ini kurang tepat.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Istimewa
Suasana saat MKKBN melakukan pelaporan ke Mapolda Bali Kamis siang 13 Mei 2021. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -  Buntut penutupan ashram dan sampradaya, nampaknya akan berlanjut.

Majelis Ketahanan Krama Bali Nusantara (MKKBN), menilai penutupan ashram atau sampradaya di Bali selama ini kurang tepat.

Sehingga MKKBN sempat mengirimkan somasi ke dua lembaga di Bali, yakni Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Majelis Desa Adat (MDA). Namun, tidak ada tanggapan dari dua lembaga tersebut.

Untuk itu, pada Kamis 13 Mei 2021, MKKBN melakukan pelaporan ke Polda Bali. Ketua MKKBN, I Ketut Nurasa, menjelaskan bahwa awalnya ia meminta agar selama 7x24 jam, Surat Keputusan Bersama (SKB) PHDI dan MDA Provinsi Bali nomor 106/PHDI-Bali/XII/2020 dan nomor 07/SK/MDA-Prov Bali/XII/2020, tentang pembatasan kegiatan pengembangan ajaran Sampradaya Non Dresta Bali di Bali tanggal 16 Desember 2020 dicabut.

Baca juga: Terkait Persepsi Wewidangan Desa Adat dan Fungsinya, Ini Penjelasan Pihak MDA Bali

Namun, hal tersebut tidak direalisasikan, dan kemudian setelah penutupan ashram di Padang Galak dilakukan pula pelarangan kegiatan sampradaya di salah satu wilayah Denpasar. Sebab dinilai tidak sesuai dengan dresta Bali.

Padahal baginya, para bakta sampradaya ini masih mengikuti dan mendalami kitab suci Weda.

Lanjutnya, belakangan tanpa adanya putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum alias inchraht, penutupan sejumlah ashram sampradaya tetap dilakukan di Pulau Dewata.

Hal ini baginya, melanggar konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni Undang-Undang Dasar 1945.

"MKKBN yang mengusung visi Swadharma Agama dan Swadhrama Negara pun berusaha mencari keadilan," tegasnya dalam siaran pers Kamis 13 Mei 2021.

Untuk itu, ia melakukan pelaporan ke Mapolda Bali. Diantaranya melaporkan Bendesa Agung MDA Bali, Ketua PHDI Bali, serta salah satu Pinisepuh Perguruan di Bali, I Gusti Ngurah H, siang tadi.

Walau demikian, Nurasa tetap membuka  pintu dialog antar elemen Hindu, khususnya di Provinsi Bali dalam mewujudkan perdamaian.

Laporan pengaduan itu diterima dan ditandatangani Brigadir Polisi Kepala kadek Agus Yudiantara dan Kompol Cok Gede Mustika dengan pelapor I Ketut Nurasa.

Laporan ini dilakukan karena dianggap semakin tidak memberikan ketenangan bagi warga sampradaya.

Selain itu juga ada dugaan unsur pemaksaan kehendak dengan alasan sebagai Forum Kerukunan Umat Beragama, sehingga menggangu ketenangan.

Baca juga: Banyak Desa Adat yang Menutup Ashram Sampradaya Non Dresta Bali, Begini Sikap Bendesa Agung MDA Bali

 "Ancaman hukumannya juga berat sekitar 11 tahun," imbuhnya.

Pada dasarnya, Nurasa tidak ingin sesama saudara di Bali saling mengalahkan dan bertengkar. Apalagi Hindu di Bali adalah minoritas. Sehingga akan lebih baik tidak menggunakan kekerasan.

 "Padahal agama Hindu itu harusnya paras paros," ucapnya.

Untuk itu ia ingin mengajak dialog bersama mencari kedamaian.

"Sekarang kan mencari beras saja sudah susah, kenapa kok tidak berani musyawarah. Dalam 7 kali 24 jam saya sudah tawarkan dialog. Tapi malah saya ditantang dan menutup lagi salah satu ashram. Bahkan juga menantang puputan," katanya.

Pihaknya masih menawarkan perdamaian untuk kedamaian umat Hindu di Bali.

"Marilah kita luas berpikir dan mohon pemimpin di Bali jangan memihak, karena semua anak-anaknya beliau. Termasuk pemimpin lembaga umat," tandasnya.

Sementara itu, dikonfirmasi terpisah, MDA Bali maupun PHDI Bali belum memberikan jawaban.

Tribun Bali pun mencoba mencaritahu. Patajuh Penyarikan Agung MDA Bali I Made Abdi Negara, mengatakan belum ada keterangan resmi dari MDA.

Namun begitu ada keterangan resmi,pihaknya akan segera menyiarkan melalui media.

Baca juga: Desa Adat Disebut Tidak Langgar Hukum Tutup Ashram ISKCON, Begini Penjelasan Ketua MDA Bali

Sedangkan Ketua PHDI Bali, I Gusti Ngurah Sudiana belum memberikan komentar.

Sikap Bendesa Agung MDA Bali Terkait Penutupan Ashram Sampradaya Asing

Sebelumnya diberitakan, mulai banyaknya desa adat yang mengambil sikap untuk menutup ashram yang disinyalir merupakan bagian dari sampradaya asing atau non dresta Bali ditanggapi oleh Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali.

Bendesa Agung Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet mengaku bahwa pihaknya menghormati langkah dari berbagai desa adat tersebut.

Apalagi, menurut dia keberadaan desa adat sendiri jauh sudah ada sebelum adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Sehingga ia menyebutkan tidak ada sejengkal tanah Bali yang di luar wewidangan  (wilayah) desa adat.

“Ada pemahaman yang rancu antara hak milik dengan wewidangan. Seolah olah wewidangan desa adat adalah yang menjadi milik desa adat saja,” jelas dia, Selasa 11 Mei 2021.

Pihaknya menyebut bahwa persoalan mengenai wewidangan desa adat atau wilayah dan kewenangan desa adat merupakan hak otonom yang diakui negara.

Ida Penglingsir menceritakan bahwa pada masa kerajaan dan masa kolonial Belanda bahkan desa adat memiliki  kewenangan untuk mengurus Parahyangan, Pawongan dan Palemahan.

Begitu pula hal- hal yang berkaitan dengan kerukunan, keharmonisan, ketertiban, ketenteraman, kedamaian, keamanan di wilayah atau wewidangan desa adat.

“Bahkan sampai urusan kesejahteraan pun desa adat ikut mengurus dan ikut juga bertanggungjawab. Tidak ada sejengkal tanah Bali yang di luar wewidangan desa adat di Bali,” tegasnya.

Dirinya juga menyebutkan bahwa alasan berbagai desa adat tersebut melakukan penutupan ashram tersebut ialah dikarenakan ingin memegang teguh nilai-nilai Hindu Bali yang memang menjadi dasar dari desa adat tersebut.

“Alasan desa adat menutup ashram sampradaya asing non dresta Bali  bukanlah karena perbedaan keyakinan yang sangat berbeda semata. Karena  Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Khonghucu juga sangat berbeda dengan Hindu Bali atau Hindu Dresta Bali, tetapi Islam, Kristen, Katolik  , Buddha, Khonghucu hidup damai, harmonis dan rukun di tengah- tengah wewidangan desa adat. Selain itu karena memegang teguh etika pergaulan antar agama dengan keyakinan yang berbeda,” ujar pria yang juga sebagai Ketua FKUB Bali ini.

Ia juga menyebut bahwa para ashram sampradaya asing yang non dresta Bali itu dinilai juga telah secara sistematis , terstruktur dan masif menyebarkan keyakinan mereka yang sangat berbeda itu di tengah umat yang sudah beragama.

Dalam hal ini di tengah -tengah umat Hindu Bali atau di tengah desa adat.

“Dengan penyebaran keyakinan tersebut yang masif, sistematis dan terstruktur tersebut maka jelas dapat dipastikan bahwa kelompok sampradaya asing yang merupakan gerakan untuk mengganti dan atau menghancurkan Agama Hindu Bali, Agama Hindu Nusantara, Adat Bali, Budaya Bali dan Desa Desa Adat di Bali,” tandasnya.

Berdasarkan hal itu juga adanya keinginan mereka menghancurkan dan atau menggantikan nilai yang paling luhur, paling bernilai dan paling dalam dari aspek nilai Bali.

“Itu berarti mereka sudah punya rencana jahat untuk menghancurkan Bali. Ini sungguh prilaku sangat tercela dari Sampradaya Asing tersebut, dan inilah alasan utama mengapa desa adat menutup ashram- ashram  Sampradaya Asing di Bali,” tukasnya. (*)

Artikel lainnya di Berita Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved