Pura di Bali

Sejarah Pura Er Jeruk Gianyar, Tempat untuk Memohon Rezeki Hingga Keturunan

I Made Diartawan, Pekaseh Ageng (Gede) Krama Subak Sukawati, menjelaskan dipilihnya jalan dekat pantai Purnama sebagai area pura.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Palinggih Ratu Penganten dan Ratu Brayut di Pura Er Jeruk, Sukawati, Gianyar, Bali. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk, terletak di tepi pantai Purnama, Gianyar, Bali. Termasuk bagian dari daerah teritorial Desa Adat Sukawati, Gianyar, Bali.

Dari Desa Sukawati, jarak ke pura ini hanya sekitar 4,5 Km ke arah selatan.

Posisi pura berada di pinggir jalan raya, sehingga aksesnya sangat mudah dijangkau.

I Made Diartawan, Pekaseh Ageng (Gede) Krama Subak Sukawati, menjelaskan dipilihnya jalan dekat pantai Purnama sebagai area pura.

Baca juga: Meminta Keselamatan Hingga Keturunan, Berikut Kisah Pura Kahyangan Jagat Er Jeruk

Sesuai dengan tradisi yang masih hidup di kalangan masyarakat yang beragama Hindu di Bali.

“Sebab bagi umat Hindu, ruang (tempat) dan waktu (kala) adalah dua aspek penting yang harus dikedepankan dalam membangun tempat suci atau pura itu sendiri,” jelasnya Kamis 24 Juni 2021, kepada Tribun Bali.

Pemilihan tempat dan penentuan hari (subha dewasa) untuk pendirian sebuah pura sangat penting. Layaknya dua sisi mata uang, keduanya memiliki peranan penting. Dan menjadi aspek utama dalam pemilihan tempat dan penentuan waktu pendirian Pura Er Jeruk.

Dalam adat istiadat masyarakat Hindu Bali, peranan gunung dan laut sangat penting.

Kedua hal ini memiliki aspek berbeda, dan memengaruhi pemilihan tempat dibangunnya Pura Er Jeruk.

“Gunung dan laut di Bali itu dianggap suci, oleh karena merupakan sumber dari penyimpanan amerta,” katanya. Hal ini adalah warisan dari zaman pra Hindu.

Dengan masuknya Hindu, keyakinan tersebut menjadi satu bagian penting dari konsep Rwa Bineda di Bali.

Keberadaannya juga dijadikan pusat orientasi spiritual, dalam berbagai kegiatan. Seperti kegiatan upacara keagamaan, membangun tempat suci, rumah tinggal (bale) dan lain sebagainya.

Untuk itu, terkait dipilihnya pantai Purnama sebagai lokasi pura, berasal dari pandangan bahwa laut adalah suci.

Pura, kata dia, sebagai simbol gunung dan laut berfungsi sebagai media komunikasi antara manusia dengan Tuhan.

Baca juga: Kisah Angker Pura Goa Sudamala di Selat Karangasem, Bila Terkena Desti Hingga Cetik Bisa Disembuhkan

Dalam upaya memohon kesuburan dan kesejahteraan.

“Sumber-sumber tertulis berupa prasasti yang mengungkapkan tentang tahun pendirian pura Er Jeruk, sampai saat ini belum ada ditemukan,” katanya.

Untuk itu, saat ini sedang dibuatkan prasasti dan purana pura.

Menurut sumber yang diperoleh dari cerita orang Bali dan Pura Besakih, dijelaskan bahwa Pura Er Jeruk telah dibangun ketika pemerintahan Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa pada abad 10 masehi.

Besar kemungkinan Pura Er Jeruk, terus mendapatkan perhatian di zaman kekuasaan sesudahnya.

Ketika Bali dipimpin oleh raja dari keturunan dinasti Warmadewa. Yakni Udayana Warmadewa, yang memimpin pada abad 11 masehi.

Dan memposisikan Empu Kuturan sebagai purohita (pendeta istana) kerajaan. Empu Kuturan sendiri, secara tradisi diakui sebagai tokoh yang memperkenalkan sad kahyangan.

Selain sebagai pengikrar konsep Tri Murti, yang ditranformasikan ke dalam bentuk bangunan kahyangan tiga.

 Kemudian penjelasan yang diperoleh dari sumber Usana Bali, disebutkan nama Pura Gunung Jruk sebagai stana Ida Bhatara Putranjaya.

“Upaya menyamakan Pura Gunung Jruk dengan Pura Er Jeruk cukup beralasan, karena penyebutan nama Dewa Putranjaya berstana di Gunung Jeruk dalam Usana Bali,” jelasnya.

Hal ini diperkuat dengan bangunan Meru Tumpang Lima sebagai tempat stana dan pemujaan Ida Bhatara Putranjaya di Pura Er Jeruk.

Baca juga: Kisah di Balik Berdirinya Pura Dalem Pangembak, Patung yang Dibuat Jero Mangku Bisa Tertawa Sendiri

Bangunan meru di Bali pun, kata dia, diperkenalkan oleh Empu Kuturan.

Secara singkat, disebutkan setidaknya Pura Er Jeruk dibangun dalam tiga tahap.

Tahap pertama di era pemerintahan Sri Wira Dalem Kesari Warmadewa pada abad 10 masehi.

Tahap kedua, pada masa pemerintahan Udayana Warmadewa abad ke-11 masehi.

 Saat itu, Empu Kuturan hadir sebagai purohita atau pendeta istana.

Kemudian pembangunan renovasi tahap ketiga, dilakukan ketika pemerintahan raja Dalem Waturenggong yang beristana di Gel-gel pada abad ke-15 sampai 16 masehi.

Sang raja kala itu, memposisikan Dang Hyang Nirartha sebagai purohita  atau pendeta kerajaan.

“Beliau memperkenalkan konsep padmasana di Bali, termasuk melengkapi Pura Er Jeruk dengan bangunan padmasana di utama mandala (ruang suci),” sebutnya.

 Konsep Pura Er Jeruk, menerapkan konsep tri mandala. Yaitu membagi ruang mandala menjadi tiga.

“Namun saat ini mandala pura terdiri dari empat mandala,” sebutnya.

Tambahan mandala terjadi karena dibuat candi bentar di mandala depan. Dengan pertimbangan bangunan-bangunan yang ada di jaba luar terlepas dari jalan ke pantai Purnama.

“Namun hal itu tidak memengaruhi keutuhan konsep yang melandasi pendirian pura tersebut,” katanya.

Konsep tri mandala, sebagai replika dari konsep tri bhuwana. Diantaranya, bhur loka (alam bawah), bwah loka (alam tengah), dan swah loka (alam atas).

“Biasanya yang datang ke pura ini, memohon keselamatan, rezeki dan bahkan keturunan,” jelasnya.

Khusus untuk memohon kesuburan, adalah di palinggih Ratu Brayut. Posisi palinggih ini berada di sebelah kanan kori agung (candi kurung) dan menghadap ke barat.

Bangunan palinggih berbentuk gedong, yang terbuka di bagian depannya sementara di sisi lainnya tertutup.

Ada sebuah cerita tradisi yang berkembang di masyarakat, bahwa arca-arca yang tersimpan di palinggih tersebut.

Erat kaitannya dengan kekuasaan Dalem Waturenggong, seorang raja dengan hegemoni kuat di Bali ketika masa pemerintahannnya. Kemudian ada palinggih Ratu Penganten, yang posisinya di sebelah kanan palinggih Ratu Brayut.

Bangunannya mirip dengan padmasari, dan palinggih ini tampaknya berkaitan erat dengan palinggih Ratu Brayut.

“Nah di palinggih Ratu Penganten ini, pasangan suami-istri bisa memohon agar diberkahi keutuhan dalam hidup berumah tangga. Lalu di Ratu Brayut memohon agar diberkahi keturunan atau anak,” jelasnya. (*)

Artikel lainnya di Pura di Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved