Serba serbi

Lahir Tanpa Saudara hingga Wuku Wayang, Ini Alasan Mengapa Tumpek Wayang Jadi Hari Keramat 

Tumpek Wayang sudah dikenal sejak dahulu, merupakan satu di antara hari suci yang keramat oleh umat Hindu di Bali.

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tumpek Wayang sudah dikenal sejak dahulu, merupakan satu di antara hari suci yang keramat oleh umat Hindu di Bali.

Sehingga pada Sabtu Kliwon wuku Wayang, banyak yang melakukan upacara yadnya. Khususnya yang mengusung bhatara Ratu Gede dan sebagainya. 

Anak yang lahir pada wuku Wayang pun, konon perlu diruwat agar sifat bhuta kala dalam dirinya bisa dikendalikan.

Mengapa demikian? berikut penjelasan Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, kepada Tribun Bali, Jumat 6 Agustus 2021. 

Baca juga: Kelahiran Jumat Wage Wayang Wajib Sapuh Leger, Kisah Bhatara Kala dan Hyang Kumara  

Beliau mengatakan, bahwa Tumpek Wayang adalah rerainan yang cukup disakralkan di dalam kehidupan umat Hindu di Bali.

Berbicara masalah tumpek, dalam kalender Bali biasanya jatuh pada Sabtu.

Selain Tumpek Wayang, ada pula Tumpek Landep, Tumpek Wariga, Tumpek Kuningan, Tumpek Klurut, Tumpek Uye, dan paling terakhir Tumpek Wayang

"Tumpek Wayang adalah tumpek paling terakhir pada wuku atau pawukon dalam kalender yang dikenal di Bali," jelas beliau.

Tumpek Wayang sangat disakralkan di dalam lontar Kala Tattwa, dimitoskan bahwa Bhatara Kala pada waktu itu sedang turun untuk mengejar orang-orang yang lahir pada wuku Wayang untuk dijadikan santapan. 

Baca juga: Hari Kotor, Ini yang Harus Dilakukan pada Jumat Wage Wuku Wayang

Hal itu setelah Bhatara Kala diperbolehkan memangsa orang yang lahir saat wuku Wayang, oleh ayahnya Dewa Siwa.

"Jadi ada yang boleh dimangsa dan tidak dimangsa," kata beliau.

Konon, kata ida rsi, yang boleh dimangsa oleh Bhatara Kala adalah anak yang lahir sendirian atau tidak memiliki saudara sama sekali. 

Kemudian anak yang lahir berderet tiga laki-laki.

Lalu anak yang lahir pada wuku Wayang.

"Oleh sebab itu, Tumpek Wayang sangat disakralkan karena Tumpek Wayang adalah tumpek yang terakhir dalam pawukon," kata beliau.

Dalam lontar Kala Tattwa, Tumpek Wayang juga berhubungan dengan dalang samirana. 

Baca juga: Dibalik Kelahiran pada Wuku Wayang, Ada Kisah Bhatara Rare Kumara yang Diselamatkan Seorang Dalang

Sebab dalang inilah yang akan menyelematkan kelahiran anak pada wuku khususnya Tumpek Wayang.

Termasuk menyelematkan yang lahir sendirian tanpa saudara atau disebut untag-antig.

"Maksudnya dalang membantu nyomia bhuta kala, tentunya dengan upakara dan upacara," jelas ida. 

Dalam mitologi, konon Bhatara Kala tidak memiliki kaki dan tangan namun memiliki badan yang besar.

Bhatara Kala memakan hanya dengan mulutnya yang besar dan sangat sakti mandraguna.

Bhatara Kala adalah anak Dewa Siwa, yang lahir akibat kamanya jatuh ke samudera. 

Untuk itu, ketika Bhatara Kala ingin diakui oleh Dewa Siwa. Ia meminta izin agar diberi makan.

Dewa Siwa pun menyanggupi, dan memberi izin Bhatara Kala memakan siapa saja yang lahir wuku Wayang.

Seorang putra Dewa Siwa bernama Dewa Kumara. 

Dewa Siwa memastu Hyang Kumara agar tetap kecil sehingga tidak bisa dimangsa oleh Bhatara Kala.

Namun sebelum itu, Hyang Kumara sempat dikejar oleh Bhatara Kala dan ingin dimangsa. Dewa Siwa memberitahu Bhatara Kala, agar tidak sembarangan memangsa. 

Bhatara Kala boleh memangsa orang yang berjalan saat matahari di atas kepala atau tengai tepet.

Kemudian boleh memangsa saat seseorang berkeliaran, tatkala matahari akan tenggelam atau sandya kala.

"Nah kebetulan adiknya memiliki syarat untuk bisa dimakan," jelas beliau. 

Sehingga Bhatara Kala mengejar Hyang Kumara.

Dari sinilah awal kisah Tumpek Wayang lahir. Awalnya Hyang Kumara berlari ke sebuah tempat, yakni bambu yang berlubang. Bhatara Kala yang kelaparan, memasukkan mulutnya ingin menelan Hyang Kumara. 

Beruntung Hyang Kumara berhasil kabur, dari lubang bambu yang satunya.

Kemudian Bhatara Kala mengeluarkan pastu, barangsiapa yang memotong bambu satu ruas sehingga berlubang atau bambu bolong, maka hidupnya akan memiliki masalah. 

"Untuk itu, jika membuang bambu lebih baik dihancurkan terlebih dahulu," jelas beliau. Pelarian Hyang Kumara berlangsung hingga ke sebuah tungku perapian, atau yang disebut bungut paon. Dengan tiga lubang di atasnya, dan satu lubang di depan untuk tempat memasukkan kayu bakar.

Ketika berada di sana, Bhatara Kala berusaha untuk menangkap tetapi Hyang Kumara malah masuk dan lari lewat tungku yang lainnya.

Sejak saat itu, Bhatara Kala memastu barangsiapa yang tidak menutup tungku apinya dan membiarkan terbuka maka hidupnya akan boros. 

Hyang Kumara kembali berlari, dan melihat ada ki dalang sedang mementaskan pertunjukan wayang.

Hyang Kumara bersembunyi di dekat banten dan gamelan yang kemudian diperciki tirta oleh ki dalang.

Bhatara Kala tetap mencarinya sembari memakan sesajen persembahan ki dalang untuk Bhatara Siwa. 

Akhirnya karena tidak menemukan Hyang Kumara, dan memakan sesajen ki dalang. Bhatara Kala kemudian diancam akan dilaporkan kepada Dewa Siwa.

"Nah di sana terjadilah diskusi, diantara Bhatara Kala dan ki dalang," jelas beliau. 

Akhirnya disepakati, bahwa Bhatara Kala tidak akan memangsa anak yang lahir pada wuku Wayang apabila telah menghaturkan banten dan pertunjukan wayang.

Banten dan pertunjukan tersebut kini dikenal dengan bayuh sapuh leger. 

"Bayuh sapuh leger sangat penting dilakukan oleh orang yang lahir Jumat dan Sabtu," kata beliau.

Sebab hari Jumat adalah Kala Paksa, atau hari di mana Hyang Kumara hampir dimangsa namun tidak jadi karena diselamatkan ki dalang. "Sedangkan kelahiran Minggu sampai Kamis wuku Wayang, biasanya dibayuh dan lukat tirta wayang," sebut ida. 

Sehingga dalam wuku Wayang, yang paling sakral adalah pada hari Jumat dan Sabtu.

Oleh sebab itu, hari Jumat banyak pantangan-pantangan yang harus dilakukan.

"Terutama bagi orang yang hamil tidak diperbolehkan untuk keramas karena akan kehilangan kharismanya," tegas mantan dosen UNHI ini.

Pada Jumat wuku Wayang (hari ini), disebut para kala sedang dalam kondisi ganas sehingga di-somia (dinetralkan) dengan maseselat (upacara)

Upacara maseselat ini, dengan sarana daun pandan berduri dan pamor yang diletakkan di pamerajan atau sanggah dan besoknya ditaruh di lebuh (pekarangan rumah). (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved