Berita Denpasar

Kisah Sri Rintis 'Kripik Biru' yang Populer di Bali, Khas Berbahan Kepala dan Leher Ayam

Bagi sebagian warga Kota Denpasar dan sekitarnya, keripik ‘Kripik Biru’ sepertinya bukan kudapan yang asing.

Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Karsiani Putri
Tribun Bali/Rizal Fanany
Pekerja membungkus kripik ayam di rumah produksi di kawasan Banjar Batan Buah, Kesiman, Denpasar, Jumat 13 Agustus 2021. Selama PPKM omzet penjualan kripik ayam mengalami penurunan 50 persen. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Bagi sebagian warga Kota Denpasar dan sekitarnya, keripik ‘Kripik Biru’ sepertinya bukan kudapan yang asing.

Kripik dengan harga Rp1.000 per bungkus kecil ini memang menjadi panganan yang populer.

Ternyata ada kisah unik di balik produksi kripik biru yang ternyata berbahan dasar kepala dan leher ayam.

Kisah tersebut bermula ketika Ni Luh Sri Wahyuningsih,  seorang ibu rumah tangga, baru saja memiliki buah hati.

BACA JUGA: 3.700-an OTG GR di Denpasar Masih Jalani Isolasi Mandiri, Kini Tambah Dua Tempat Isolasi

Terhimpit kebutuhan dari kanan kiri membuat Sri memutar otak untuk membantu perekonomian keluarganya.

Pada saat itu tahun 1997, Ia mencoba-coba peruntungan dari membuat keripik.

Ia memilih bahan baku keripik dari  kepala dan leher ayam karena harganya yang cukup terjangkau.

Ide itu tentu tidak tercetus begitu saja.

Selain karena keripik dapat dinikmati oleh semua kalangan dan masa kadaluarsanya cukup lama, Sri memiliki cerita lain di balik munculnya ide menjual keripik ayam tersebut.

BACA JUGA:  Kasus Positif Covid-19 di Kota Denpasar Masih Tinggi, Kasus Sembuh Sebanyak 870 Orang 

“Awalnya ada saudara yang motong ayam, dan tetelannya seperti kepala dan leher ayam dibuang. Dari sanalah saya berpikir sangat sayang sekali jika kepala dan leher ayam dibuang begitu saja. Lalu saya mencoba membuat keripik ayam berbahan baku kepala dan leher ayam,” kata Sri, mengenang kejadian puluhan tahun lalu itu.

Pada saat itu, tepatnya pada tahun 1997, wanita asal Kabupaten Karangasem itu mulai mencoba membuat keripik ayam kreasinya sendiri.

Kala itu Sri tidak hanya memproduksi, tetapi juga menjajakan langsung keripiknya dengan mendatangi satu per satu warung di wilayah tempat tinggalnya.

Sri yang dikaruniai empat orang anak perempuan itu mengaku memulai usahanya dengan sangat tidak mudah.

Mulai dari meracik resep olahan sendiri, mencari bahan bakunya sendiri, bahkan dalam proses penjualannya pun tidak sedikit penolakan yang diterimanya.

Usaha ini benar-benar ia mulai dari awal dan tentu dengan dukungan suaminya.

“Banyak penolakan dulu yang saya terima. Bahkan pernah dulu ketika saya baru sampai di sebuah warung dan saya belum menawarkan, namun pemilik warung tersebut sudah langsung menolaknya,” ujarnya.

Tetapi, berbekal tekad sekuat baja, ia tak menyerah begitu saja.

Sri terus berusaha agar keripik ayamnya bisa bersaing dengan makanan lainnya.

Satu per satu warung ia datangi dengan sepeda kayuh  bututnya.

Ia terus mengayuh pedal sepeda tanpa mengenal lelah.

Memang perjuangan yang tidak mudah.

Akhirnya di tahun 2005, keripik ayam buatannya mulai memasuki ranah penjualan grosiran atau pasar.

Pada tahun yang sama pula, keripik buatan Sri mulai dikenal oleh masyarakat.

Tiga tahun kemudian, pada tahun 2008, ia mulai banyak mendapatkan pelanggan.

Pesanan mulai datang dari sana-sini dan dering telepon pun mulai bersahutan.

Ia pun memiliki beberapa tenaga sales keripik yang berasal dari luar kota seperti Negara, Singaraja, Karangasem, Gianyar, Bangli, Tabanan dan Klungkung.

Tak jarang keripik buatannya juga dijadikan oleh-oleh ke luar negeri.

Dengan usaha keripik ayamnya ini, wanita berumur 46 tahun itu dapat mengubah perekonomian dan mengangkat derajat keluarganya.

Hasil dari berjualan keripik ini, ia bisa membiayai sekolah empat anaknya sampai bangku kuliah, dan juga  memberikan kehidupan yang layak untuk anak-anaknya.

Dari usaha keripik ayam ini, ia juga membuka lapangan pekerjaan dengan mempekerjakan beberapa ibu rumah tangga (IRT) di sekitar pabrik keripiknya.

Pada umumnya mereka adalah para IRT yang ingin bekerja, namun ingin tetap dapat mengurus anaknya.

“Saat ini tenaga kerja yang membantu saya memproduksi keripik berjumlah 28 orang. Tenaga kerja saya didominasi oleh ibu-ibu, dan kebanyakan dari mereka memang sedang membutuhkan pekerjaan namun tetap dapat mengurus anaknya. Maka dari itu, saya membuka lapangan pekerjaan agar setidaknya dapat membantu mereka,” jelasnya.

Namun, di tengah penerapan PPKM saat ini, Sri mengatakan penjualan keripiknya mulai alami penurunan, hingga 50 persen. 

Kendati demikian, untuk jumlah reseller-nya masih sama yakni kurang lebih 200 orang.

Sri berharap pandemi Covid-19 ini segera berakhir, sehingga usahanya dapat kembali lancar. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved