Berita Bali

Wuku Watugunung, Wuku Terakhir Dalam Pawukon Serta Kisah Dibaliknya

Tanpa terasa, sejak hari Senin 22 Agustus 2021 hingga nanti 28 Agustus 2021 adalah wuku Watugunung.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
Dok. I.B. Soeryawand
Dewi Saraswati 

Tentu saja Dewa Wisnu marah dan tak berkenan.

Sebab yang diminta adalah istrinya. Akhirnya pertempuran sengit pun terjadi.

Diantara Dewa Wisnu dan Watugunung. 

Singkat cerita, Dewa Wisnu terdesak oleh kekuatan Watugunung yang merupakan anugerah Dewa Brahma. 

Bhagawan Wrehaspati membantu Dewa Wisnu, lalu mengutus Bhagawan Lumanglang untuk mencari tahu kesaktian Watugunung. 

Bhagawan Lumanglang mengambil wujud laba-laba, lalu menyusup ke kamar Watugunung mengintip pembicaraan tentang rahasia kesaktiannya kepada Dewi Sinta.

Rahasia itu kemudian disampaikan kepada Dewa Wisnu.

Dalam pertarungan berikutnya, pada hari Redite Kliwon (Minggu) Dewa Wisnu ber-Triwikrama.

Watugunung pun  berhasil dikalahkan, tubuhnya terhempas jatuh ke bumi.

Maka pada hari itu disebut Watugunung Runtuh.

Disebut juga Kajeng Klion Pemelastali karena dengan tewasnya Watugunung maka lepaslah ikatan tak wajar dan tak pantas antara Watugunung dengan ibunya Dewi Sinta.

"Kajeng Kliwon Pamelas Tali ini juga merupakan Kajeng Kliwon terakhir dari rangkaian wuku dalam satu putaran," sebutnya.

Lalu keesokan hari setelahnya, adalah Soma Umanis (Senin).

Kisahnya, Watugunung menemui ajalnya, jasadnya tersangkut di batang pohon talas (candung).

Maka hari itu disebut Candung Watang. 

Lalu pada hari Anggara Paing (Selasa), jasad Watugunung diseret – seret, maka hari itu disebut Paid - paidan.

Pada hari Buda Pon (Rabu), Watugunung siuman kembali, sehingga hari itu disebut Buda Urip.

Keesokan harinya, Wraspati Wage (Kamis), Watugunung kembali dibunuh oleh Dewa Wisnu.

Namun atas belas kasihan Dewa Siwa, maka Watugunung dihidupkan kembali.

Hari itu kemudian disebut dengan Urip Kalantas (hidup terus).

Pada hari Sukra Kliwon (Jumat), Watugunung membersihkan diri (sapuhawu), kemudian melakukan tapa brata yoga semadi, memohon pengampunan, serta memohon kepradnyanan atau ilmu pengetahuan.

Hari itu disebut dengan Pangeredana. 

Keesokannya, Saniscara Umanis (Sabtu), Dewa Brahma menurunkan ilmu pengetahuan untuk semua umat manusia di dunia.

Hari itu disebut dengan Saraswati.

"Dewa Wisnu saat itu berkata, bahwa dalam setiap enam bulan Watugunung akan mengalami keruntuhan. Apabila jatuhnya di bumi (darat), maka akan turun hujan, apabila jatuhnya di laut, maka di bumi tak turun hujan. Demikian kutukan Dewa Wisnu kepada Watugunung," jelas penekun spiritual ini.

Bersamaan dengan itu pula, semua raja yang telah dikalahkan oleh Watugunung dihidupkan kembali.

Nama Dewi Sinta dan Dewi Landep, serta nama-nama raja taklukan, dan nama Watugunung sendiri dijadikan nama-nama wuku.

Sehingga sampai saat ini, dikenal wuku dari Sinta sampai Watugunung.

Secara filosofis, kisah ini bermakna bahwa kebodohan dan ketamakan serta jumawa dapat menghancurkan akal budi manusia.

Sama halnya dengan Watugunung yang lupa diri, setelah menerima anugerah dari Dewa Brahma.

Sehingga menikahinya ibunya sendiri.

Namun tentu saja, dengan dikalahkannya Watugunung maka kebodohan dan ketamakan pun dihancurkan, dibersihkan oleh para dewa.

Kemudian arti kata pamelas tali adalah melepaskan ikatan duniawi atau kebodohan dari Watugunung dan kembali ke jalan Dharma. 

Sehingga setelah bersih, siap menerima ilmu pengetahuan dari Weda yang turun di hari Saraswati.

Yakni tepat pada Saniscara Umanis (Sabtu).

Ilmu pengetahuan yang turun ini, diharapkan bersih dan baik serta terus mengalir bagai air ke dunia dan diterima umat manusia.

Untuk itulah ada hari Banyupinaruh setelah Saraswati. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved