TERKINI, Hambali, Sosok yang Disebut ‘Otak’ Bom Bali akan Dihadirkan di Persidangan Militer AS
Selain Bom Bali 2002, menurut As'ad Said Ali, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara, Hambali berada 'di belakang' bom Marriot (5 Agustus 2003),
Seorang anggota polisi mengamankan situasi setelah bom meledak di depan Kedubes Australia di Jakarta, 9 September 2004.
"Dia mengakui semua atas apa yang dilakukannya. Terang-benderang, dia tidak menutup-nutupi, karena sudah no way ya," aku As'ad, yang pernah menulis buku Al-Qaeda, Tinjauan Sosial Politik, Ideologi dan Sepak Terjangnya (2014).
Di hadapan Hambali, tim BIN dan Mabes Polri terutama mengkonfirmasi beberapa aksi teror bom yang "tidak diketahui" anggota JI lainnya.
"Misalnya bom Bali, bom Atrium Senen, Kedutaan Australia, bom di depan rumah Dubes Filipina, juga rencana pengeboman di Singapura," kata As'ad.
Hambali juga tidak membantah ketika dia disodorkan bukti bahwa dia adalah "operator serangan teror Al-Qaedah di wilayah Asia Tenggara".
Mengapa Hambali sebarkan 'fatwa jihad Osama bin Laden'?
Sebagai penghubung antara Jemaah Islamiyah dan Al-Qaedah, Hambali menerima kepercayaan untuk menyebarkan fatwa yang dikeluarkan Osama bin Laden.
Fatwa berbahasa Arab itu dibawa Hambali dan disebarkan kepada para pimpinan JI di Malaysia dan Indonesia. "Termasuk saya," kata Nasir Abas.
Menurut Nasir, Hambali memintanya untuk membacakan fatwa itu ke hadapan pimpinan lainnya. Ini ditolaknya.
"Saya tidak setuju dengan pendapat Osama bin Laden, yang mengatakan boleh membunuh warga sipil di mana saja, karena bertentangan fiqh jihad," aku Nasir Abas kepada BBC News Indonesia.
"Saya tidak setuju dengan pendapat Osama bin Laden, yang mengatakan boleh membunuh warga sipil di mana saja, karena bertentangan fiqh jihad," kata Nasir Abas.
Hambali menganggap fatwa yang dikeluarkan Osama itu sahih karena dia 'dikelilingi' para ulama. "Sehingga ini dibolehkan," kata Hambali, seperti ditirukan Nasir.
Nasir, yang mantan ketua mantiqi tiga Jemaah Islamiyah di Sabah Malaysia, Kaltim, Sulawesi Tengah dan Tenggara, tetap berkukuh menolaknya. "Saya tetap menolak."
Al Chaidar, yang pernah aktif di organisasi Negara Islam Indonesia, NII, atau Darul Islam, juga menolak cara-cara terorisme yang ditempuh Hambali dan kawan-kawan.
Dia menyebut Darul Islam "lebih pasifis dan humanis" sehingga sejak awal dia tidak tertarik 'jalan' yang ditempuh Jemaah Islamiyah.
"Sejak awal kita [Darul Islam] sudah menyadari bahwa kita tidak mau dan tidak terlibat terorisme," kata Al Chaidar.
"Dan Hambali mengerti itu dan menghormati posisi saya. Kita sering berbicara secara personal dengan Mukhlas [dihukum mati akibat perannya dalam Bom Bali 2002] dan Hambali."
"Dan mereka tidak mau mengintervensi sekat-sekat organisasional ini antara NII dan JI. Mereka hargai perbedaan itu.
"Sejak awal kita [Darul Islam] sudah menyadari bahwa kita tidak mau dan tidak terlibat terorisme, karena gerakan pembentukan negara berbeda dengan gerakan terorisme," papar Al Chaidar kepada BBC News Indonesia, Sabtu (29/08).
Jejak langkah Hambali dan JI dalam serangkaian teror bom
Namun suara Nasir Abbas dan Al Chaidar ini tenggelam dan ditinggalkan oleh Hambali dan kawan-kawannya. Kerusuhan Ambon dan Poso adalah salah-satu medan jihad pertama Jemaah Islamiyah.
Dalam konflik Ambon, Hambali bahkan pernah datang ke wilayah itu dan berujung kepada pembangunan kamp latihan militer dan bantuan logistik dan pendanaan.
Ada beberapa kasus teror yang digagas oleh Hambali, kata As'ad Ali, diantaranya adalah serangan bom di depan rumah Dubes Filipina di Jakarta.
"Memang salah-satu sosok yang punya peran, dan desainernya di bom Bali itu adalah Hambali," kata Ali Fauzi kepada BBC News Indonesia.
Lainnya? Serangan serentak di sejumlah gereja di berbagai kota pada Desember 2000. Hal ini juga dibenarkan Nasir Abas dan Al Chaidar.
Walaupun tidak menyetujui 'jihad' yang ditempuh Hambali, Nasir Abas tidak memungkiri kemahiran sang operator teror tersebut.
"Lebih dari 30 gereja jadi sasaran pada malam yang sama, dan dilakukan di kota yang berbeda," kata Nasir. "Dan itu semua dikoordinir oleh Hambali."
Bagi Al Chaidar, Hambali memegang peran penting dalam serangan malam Natal itu, tidak hanya sebagai peletak dasar strategi dan perencanaan.
"Tapi juga detail-detailnya dia punya," tambah Al Chaidar. Dia menyaksikan sendiri Hambali melakukan komunikasi yang "begitu detail" meski Hambali tidak menyebutkan isi percakapan itu.
Puncaknya adalah serangan bom di Kuta, Bali, Oktober 2002. Nasir Abbas, As'ad Said Ali, dan Al Chaidar meyakini Hambali adalah otaknya. "Yang begitu terorganisir," kata Nasir.
Ali Fauzi, mantan anggota Jemaah Islamiyah yang pernah terlibat dalam pelatihan militer di Mindanao, Filipina Selatan, dan kini aktif mengkampanyekan perdamaian, menyuarakan hal serupa.
Ketika membesuk beberapa saudaranya di LP Nusa Kambangan, yang dipidana dalam kasus bom Bali 2002, yaitu Ali Ghufron dan Amrozi, Ali Fauzi mendengar informasi tentang sosok Hambali.
"Memang salah-satu sosok yang punya peran, dan desainernya di bom Bali itu adalah Hambali," kata Ali Fauzi kepada BBC News Indonesia, Kamis (26/08).
Pria kelahiran 1964 asal Cianjur, Jawa Barat, ini diyakini sebagai penghubung Jemaah Islamiyah (J) dan organisasi teroris Al-Qaeda di Asia Tenggara.
Serangan bom berikutnya di Hotel JW Marriot dua tahun kemudian, memang tidak secara langsung melibatkan Hambali, karena dia sudah ditangkap di Thailand.
Namun aksi teror itu diyakini merupakan bagian dari rencananya yang kemudian dilaksanakan orang-orang kepercayaannya, kata As'ad Ali.
"Setelah tertangkap [di Thailand], proyek pengeboman yang dirancang Hambali bersama Al-Qaeda dilaksanakan oleh suatu tim yang terdiri orang-orang terdekatnya," kata As'ad.
Orang-orang terdekatnya itu antara lain Dr Azhari, Noerdin M Top dan Mukhlas, tambahnya.
Mengapa Nasir Abas dan Ali Fauzi berubah, tapi Hambali 'tidak'?
Di akhir wawancara, saya menanyakan kepada mantan narapidan teroris Nasir Abas dan Ali Fauzi, tentang bagaimana mereka bisa berubah dan bertaubat.
Dahulu, ketika masih bergabung dengan Jemaah Islamiyah, Ali Fauzi mengaku ditawari Hambali untuk mengikuti kamp pelatihan militer di Mindanao atau Afghanistan.
"Saya bertanya, mana wilayah yang masih berperang?" Dan ketika dia mengetahui Afghanistan sudah mereda konfliknya, Ali Fauzi memilih berlatih di Mindanao.
Ali Fauzi Manzi adalah adik kandung terpidana mati Bom Bali, Amrozi, dan terpidana seumur hidup Ali Imron.
Pada 2002, Ali Fauzi berangkat ke Mindanao, Filipina, serta mendirikan kamp pelatihan militer MILF bersama tersangka teroris lainnya.
Dua tahun kemudian Ali ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Filipina dan dipulangkan ke Indonesia pada 2006.
Setelah bebas, Ali mendirikan Yayasan Lingkar Perdamaian (YLP) bersama eks narapidana terorisme lainnya untuk mengampanyekan perdamaian dan deradikalisasi.
"Akar terorisme itu tidak tunggal, sehingga penyembuhannya tidak boleh tunggal," kata Ali Fauzi. Dia mengakui pendekatan lunak dari kepolisian juga membuatnya berubah.
"Dan saya ketemu ratusan korban bom dan keluarganya, dan membuat saya paham apa yang dilakukan kawan-kawan itu keblabalasan dan perlu dihentikan," ujar Ali.
Bagaimana dengan Nasir Abas?
Dia menekankan kembali istilah fiq jihad yang diutarakan di awal saat berdebat dengan Hambali tentang fatwa jihad Osama bin Laden.
"Osama mengatakan sekarang ini boleh membalas dengan membunuh wanita dan anak-anak yang warga AS, di situ saya melihat bertentangan dengan fiqh," kata Nasir.
Dia menggarisbawahi, Islam melarang membunuh warga sipil di medan pertempuran.
"Sementara Hambali tidak melihat fiqh, dia melihat sosok Osama bin Laden yang disebutnya mujahid besar yang dianggap tidak mungkin salah.
"Saya melihat sosok Osama bin Laden adalah manusia biasa yang bisa saja salah. Di situlah titik perbedaan saya dan Hambali," kata Nasir Abas.
Artikel ini telah tayang di BBC dengan Judul: Taliban, Al-Qaeda dan 'teroris berbahaya' Hambali: Sang penghuni penjara Guantanamo selama 15 tahun 'tanpa dakwaan'