KISAH Sisca Terpisah dari 7 Anak Selama 38 Tahun Usai G30S/PKI, Kami Bangga dengan Ibu, Dia Pejuang
"Setiap kali ada persekutuan doa, yang selalu saya doakan adalah ibu saya."
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA - Dua hari lagi, Indonesia bahkan dunia akan mengenang peristiwa berdarah G30S PKI.
Banyak kisah pilu, sedih, tragis bahkan mengerikan ketika mengenang G30S PKI pada tahun 1965 tersebut.
Ribuan, bahkan mungkin ratusan ribu rakyat Indonesia tewas dalam peristiwa itu.
Seperti halnya kisah pilu yang alami oleh Francisca Fanggidaej yang harus berpisah dengan anak-anaknya yang masih kecil.
Francisca saat bertugas di luar negeri tidak dapat pulang setelah paspornya dicabut.
Peristiwa berdarah G30S 1965 itu memisahkan Francisca dari anak-anaknya yang masih bocah. Bagaimana anak-anaknya bisa bertahan dan menunggu 38 tahun untuk bertemu kembali dengan ibu mereka?
Suasana di pagi hari di awal Oktober 1965 itu semestinya tak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya.
Enam bocah itu, dan satu orang lagi yang beranjak remaja, biasanya mengisi waktu luang dengan bermain usai pulang sekolah.
Dan pagi itu terlihat normal-normal saja, kecuali kerisauan Savitri Sasanti Rini, salah seorang bocah itu, ketika memergoki ayahnya terlihat gelisah sehari sebelumnya.
Walaupun begitu, bocah berusia tujuh tahun itu tak berpikir bahwa gelagat ayahnya itu terkait dengan kejadian genting beberapa hari sebelumnya yang juga tidak dia pahami.
Santi -panggilan anak kelima ini- pun tak pernah membayangkan peristiwa di hari-hari itu akan membuat dia dan enam saudaranya bakal terpisah belasan hingga puluhan tahun dengan ayah dan ibunya.
Pagi itu, ketika Santi dan saudara-saudaranya bermain di dalam rumah, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari arah halaman depan. "Keluar! Keluar!"
Beberapa tentara bersenjata lengkap turun dari truk dan mencari ayahnya. Ketakutan mulai merayapi bocah-bocah itu. Ayahnya lantas diciduk rombongan tentara.
"Kita hanya bisa menangis, (seraya setengah berteriak) 'Bapak, bapak, bapak kenapa?'" ujar Santi kepada BBC News Indonesia, pertengahan September lalu, mencoba mengingat lagi kejadian pahit di pagi itu.
Dihantui ketakutan, pertanyaan tanpa ada jawaban ini kemudian mengiringi kepergian ayahnya -Supriyo, jurnalis kantor berita Antara- yang dinaikkan ke dalam truk.