Tips Kesehatan
Ibu Hamil Perlu Deteksi Dini untuk Mengetahui Preeklamsia yang Bisa Menyebabkan Kematian
Preeklamsia biasanya dimulai setelah minggu ke-20, namun seringnya menimpa ibu hamil yang sebelumnya tidak memiliki riwayat hipertensi.
TRIBUN-BALI.COM - Dokter Spesialis Obsteri dan Ginekologi dr. Aditya Kusuma, Sp.OG mengatakan pentingnya mendeteksi dini masalah preeklamsia pada ibu hamil untuk mencegah risiko komplikasi hingga kematian pada ibu dan janin.
Dokter lulusan Universitas Indonesia ini mengatakan preeklamsia adalah gangguan tekanan darah yang hanya terjadi pada kehamilan dan dapat menyebabkan komplikasi, termasuk kerusakan pada organ vital, khususnya ginjal dan hati.
Baca juga: Picu Gangguan Pada Janin, Ini Bahaya Ibu Hamil Konsumsi Paracetamol Menurut Para Ilmuwan
Baca juga: Ibu Hamil dan Ibu Menyusui Merasa Lebih Aman Setelah Divaksin
Preeklamsia biasanya dimulai setelah minggu ke-20, namun seringnya menimpa ibu hamil yang sebelumnya tidak memiliki riwayat hipertensi.
"Preeklamsia ini munculnya tiba-tiba, kalau dia udah ada hipertensi sebelum hamil berarti bukan preeklamsia. Ibu hamil biasanya tidak terlalu aware kalau tensinya tinggi karena sebelum hamil diperiksa tensinya baik-baiknya," ujar dr. Aditya dalam webinar "Deteksi Dini Preeklamsia untuk Cegah Risiko Kematian Ibu dan Janin" pada Selasa 12 Oktober 2021.
Aditya menyebutkan beberapa gejala umum yang alami oleh ibu hamil yang menderita preklamsia.
Beberapa di antaranya adalah sakit kepala parah, gangguan penglihatan, tekanan darah tinggi, naiknya berat badan dengan cepat, mual, sakit pada area abdominal, protein pada urin dan bengkak pada tangan dan kaki.
Untuk mendeteksi ada tidaknya preeklamsia pada ibu hamil, biasanya dilakukan dengan dua cara yaitu pemeriksaan tekanan darah dan urin untuk melihat apakah terdapat kandungan protein atau tidak.
"Tapi tidak semua ibu hamil yang proteinnya positif terkena preeklamsia. Ada yang proteinnya negatif tahunya malah kebobolan dan ibunya tiba-tiba kejang atau gagal ginjal, ini adalah pe-er besar, jadi sebenarnya tidak hanya berdasarkan tensi tinggi dan urin positif saja," kata dr. Aditya.
Dokter Aditya mengungkapkan pentingnya melakukan pemeriksaan biomarker sFlt-1 dan PlGF untuk mengetahui resiko terjadinya preeklamsia pada usia kehamilan dini. Tes ini dapat dilakukan saat usia kehamilan 11-13 minggu.
Perubahan kadar protein angiogenik seperti sFlt-1 dan PlGF dapat digunakan untuk memprediksi dan mendiagnosis preeklamsia.
Ratio sFlt-1/PlGF telah terbukti memiliki kinerja tes yang lebih tinggi daripada standar saat ini seperti menggunakan tekanan darah dan proteinuria.
"Kalau mengintip Singapura dan Eropa sebenarnya ini bukan hal baru. Kenapa dilakukan pada trimester pertama, karena kita bicara soal pencegahan dan pengobatan seperti pemberian aspirin."
"Aspirin ini bisa menurunkan kejadian preeklamsia yang muncul hingga 90 persen, kalau kita bisa melakukan upaya skrining, ujung-ujungnya kita bisa menurunkan biaya kesehatan seperti biaya rawat inap yang tidak perlu atau perawatan khusus untuk bayi prematur," kata dr. Aditya.
Di bawah 20 tahun
Dokter Aditya menyebutkan ada beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan preeklamsia terjadi pada ibu hamil, salah satunya adalah kehamilan di bawah usia 20 tahun atau lebih dari 35 tahun.
Dia mengatakan beberapa faktor yang menyebabkan seorang ibu hamil berisiko mengalami preeklamsia adalah kehamilan pertama, memiliki riwayat preeklamsia pada kehamilan sebelumnya.
Selain itu ada riwayat preeklamsia dalam keluarga, kehamilan di usia muda atau di bawah 20 tahun dan kehamilan usia tua atau di atas 35 tahu, kehamilan kembar, ibu dengan obesitas serta ibu yang memiliki penyakit ginjal atau hipertensi kronis.
"Kehamilan kembar itu resikonya juga tinggi, orang awam kan menginginkan kehamilan kembar tapi kalau di kedokteran ini double trouble. Kemudian ada beberapa penyekat penyerta pada ibu hamil kayak ginjal, hipertensi kronis juga lupus," ujar dr. Aditya.
Dokter lulusan Universitas Indonesia ini menyebut preeklamsia sebagai silent killer.
Sebab menurutnya, banyak ibu hamil yang mengalami preeklamsia tidak memiliki gejala bahkan beberapa ibu hamil yang awalnya memiliki tekanan darahnya normal berubah menjadi sangat tinggi.
Preeklamsia memiliki dampak yang membahayakan bagi ibu dan janin, di antaranya adalah persalinan prematur, kematian janin, berat badan lahir rendah, solusio plasenta atau plasenta terlepas sebelum waktunya dan kejang atau eklampsia.
"Bayi-bayi yang prematur ini akan menimbulkan konsekuensi yang tinggi pada jangka panjang, anaknya kemungkinan akan obesitas di usia 30-40 tahun, ada resiko diabetes, kardiovaskular dan kalau anaknya wanita, dia akan ada resiko preeklamsia juga," demikian dr. Aditya. (antara)