Serba serbi

Kisah Dewa Mangku Dalang Samerana Ngewayang Calon Arang, Jelaskan Ritual Pemanggilan Leak

Dalam pementasan calon arang di Bali, kerap ditemui sesi pemanggilan leak. Sesi ini tentu saja, menjadi sesi yang seru dan ditunggu banyak pihak

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Dewa Mangku Dalang Samerana 

Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam pementasan calon arang di Bali, kerap ditemui sesi pemanggilan leak.

Sesi ini tentu saja, menjadi sesi yang seru dan ditunggu banyak pihak khususnya kaula muda saat menonton pertunjukan calon arang ke pura.

Sensasi takut tapi penasaran, membuat banyak orang hadir tatkala pertunjukan calon arang digelar.

Salah satu tokoh yang kerap memanggil leak, dalam pementasan calon arang adalah dalang.

Satu di antaranya berasal dari Gianyar, bernama Dewa Mangku Dalang Samerana

Dalang yang memang warisan dari keluarga secara turun-temurun, membuat Dewa Mangku Dalang Samerana memperdalam ilmunya hingga kuliah ke ISI Denpasar jurusan pedalangan 1997-2001.

Baca juga: Membuat Wayang Karton Sejak Tahun 1970-an, Ketut Geria Beryadnya dengan Wayang di Bali

Wayang yang diwariskan dari keluarganya pun, bukanlah wayang sembarangan.

Sebab wayang tersebut adalah wayang warisan zaman kerajaan Dalem Waturenggong, tatkala berkuasa dan dijarah dari Blambangan.

Yang kemudian diwariskan ke keluarga Dewa Mangku Dalang Samerana.

"Wayang-wayang ini berciri khas diikat dengan kawat emas," ucapnya kepada Tribun Bali, dalam program Bali Sekala-Niskala. 

Pada tahun 1998, ia telah mulai praktik ngewayang lemah, saat itu untuk muput upacara pengabenan.

"Dari sana saya belajar terus ngewayang. Kadang sebulan bisa pentas dua kali," imbuhnya. Dewa Mangku Dalang Samerana tetap mengutamakan ngayah dalam menjadi dalang ini."

"Walaupun bermasalah dengan pita suara, tak menyurutkan semangatnya untuk terus menjadi dalang. Sampai kini, ia terkenal menjadi dalang wayang calon arang hingga dalang wayang pebayuhan sapuh leger dan sebagainya. 

Untuk itulah, pada tahun 1998-1999 ia mendalami peran sebagai dalang wayang calon arang karena masalah pita suara ini.

Bukan menjadi dalang wayang yang membutuhkan banyak suara berliuk-liuk saat pementasan.

Dari sini pula, Dewa Mangku Dalang Samerana identik dengan peran sebagai pemanggil leak dalam pertunjukan wayang calon arang.

"Keluarga saya kebetulan memiliki tualen, yang terkenal di wilayah saya bahkan sampai keluar Beng, malen ini juga dilihat menunggu tempat air di sawah," sebutnya. Malen ini adalah sosok gaib, yang terkadang terlihat seperti perwujudan orang besar. 

Baca juga: Seni Tari Bebali, Tari Wayang Miliki Kekuatan Sakral untuk Upacara Yadnya

Wayang tualen, yang juga diikat emas ini memang bertuah dan kerap membantu Dewa Mangku Dalang Samerana dalam menjalankan tugasnya.

Ia menjelaskan, bahwa wayang calon arang adalah wayang yang bahan pembuatannya dari kulit sapi.

"Kalau bisa salah satunya berasal dari kulit sapi gading, sapi sander kilap, kebo yus merana, dan sebagainya. Tujuannya sebagai catu dan aura wayang," paparnya. 

Salah satu kisah unik, yang dialaminya saat mementaskan wayang calon arang adalah tatkala ngewayang di atas gegumuk atau kuburan.

Tentu saja sensasinya luar biasa, namun uniknya adalah tatkala ia memanggil leak maka orang yang nonton akan semakin ke depan mendekati kelir karena takut.

"Tentu saja namanya wayang calon arang harus mengundang leak, sebab kalau tidak memanggil leak maka bukan wayang calon arang namanya," tegas pria yang juga staf pegawai di RSJ Bangli ini. 

Untuk itu, sebelum mengundang leak ia pasti kulun nuwun atau meminta maaf kepada bhatara-bhatari yang ada di sana.

Kemudian meminta anugerah kepada bhatara di pura dalem, prajapati, dan kahyangan tiga.

"Sebab beliau yang menguasai, semua hal yang berkaitan mulai dari leak, bebhutan dan sebagainya," jelasnya.

Ia mengundang leak pun, ada batasnya tidak boleh sembarangan. Mengundang leak ini adalah keharusan, sebab jika tidak maka dalang kerap disebut getap atau penakut.

Namun tentu saja esensinya bukan sekadar itu, karena mengundang leak juga merupakan wujud keseimbangan alam. 

Baca juga: Menjelang Hari Suci Tumpek Wayang, Jangan Lupa Siapkan Pandan Berduri, Ini Maknanya

Mengenai waktu, kata dia, tergantung dari cerita yang dibawakan dan ia mengakui pernah ngewayang sampai 4 jam lamanya.

"Kala itu saya mengambil cerita Madu Segara, asal mula sebelum bernama Larung," sebutnya.

Sekilas kisahnya, Madu Segara yang difitnah masyarakat bisa ngeleak akhirnya marah dan malah ingin benar-benar belajar ngeleak. Namun ketika di setra, Walunata Dirah bertemu dengan Madu Segara dan tidak mengizinkannya belajar ngeleak. Akhirnya dibunuhlah suaminya Madu Segara, dan ia pun sedih lalu meminta kepada Bhatari Durga di prajapati yang kemudian dianugerahi 11 tingkat pangleakan. 

"Tingkat bernama Aji Rim-rim yang paling tinggi," katanya. Perubahan leak itu seperti menjadi blego dawa, ada pula berubah menjadi sampian mas, canting mas, dan sebagainya. "Memang benar seseorang yang bisa ngeleak pada tingkat sampian mas itu adalah ilmu leak tingkat tinggi atau istilahnya sudah nyari," sebut Dewa Mangku.

Nyari di sini adalah pangleakan itu sudah tidak membunuh. Sebab menjadi leak sari, maka nunas ica di pura bale agung menggunakan banten kusuma jati dan madasar sanggah cucuk dari tiing ampel gading dengan banten yang spesifik. 

Kemudian leak itu meminta anugerah dari Bhatara Brahma, dengan wujud leaknya menjadi monyet putih, garuda putih, dengan tujuan menyelamatkan masyarakat. Dan setiap sebulan sekali harus rapat di Gunung Agung leak sari ini. Ada pula pangleakan di perempatan, prajapati, dan lain sebagainya.

"Belajar leak tidaklah mudah, seperti membalikkan telapak tangan," tegasnya. Lanjutnya, seseorang yang belajar dan bisa ngeleak biasanya memasang panyengker dalam radius 100 meter. 

Selain kisah unik, ia pun pernah mengalami kisah yang mendebarkan bahkan nyaris mempertaruhkan nyawa saat mendalangi wayang calon arang.

Sebab dalam suatu wilayah di Klungkung, tatkala ia mementaskan wayang calon arang.

"Kala itu ngewayang di pura puseh, dan baru saja saya nunas ica menancapkan dupa banyak anjing mengaung di berbagai sudut dengan ditemani hujan gerimis," ucapnya. Inilah cobaan sebagai dalang wayang calon arang yang kerap diuji nyalinya.

"Seminggu sebelum pentas, saya menghaturkan pejati di berbagai tempat. Baik di pura dalem, di prajapati, setra pamuun, saya datang sendiri pada jam 12 malam. Meminta agar dilindungi, dan tiba-tiba saja rumput yang saya duduki hidup bergerak sendiri tanpa hembusan ada angin," jelasnya. 

Kisah paling aneh juga terjadi di perempatan wilayah Klungkung, saat ia menjadi dalang wayang calon arang.

Sebab waktu itu, secara sekala-niskala tempat yang menjadi lokasi acara tidak sesuai dengan aturan yang benar untuk pertunjukan wayang.

Biasanya wayang menghadap ke timur atau ke utara, namun saat itu wayang malah menghadap ke barat (perempatan) membelakangi pura.

"Tidak ada taring di atas kepala, hanya beratapkan langit. Begitu saya duduk keluar keringat dingin dari badan saya, padahal cuaca tidak panas," katanya. Tentu saja karena kondisi yang demikian, ia meminta bantuan sang malen untuk melindungi dan demi kelancaran acara ketika ngewayang. (*)

Artikel lainnya di Serba serbi

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved