Serba Serbi

Setiap Orang Wajib Mebayuh, Berikut Penjelasan Dewa Mangku Dalang Samerana

Banten magedong-gedongan dalam masyarakat Hindu, dibuat sebagai upaya agar si jabang bayi kuat di dalam rahim ibunya ini

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Dewa Mangku Dalang Samerana 

Kala itu zaman I Dewa Manggis Kuning, yang menjadi raja pertama di Beng dengan puluhan penduduk. 

"Waktu di mimpi beliau (leluhur), meminta saya mabersih atau mawinten menjadi pemangku di merajan," ucapnya. Pawintenan mangku dalang pun dilakukan di gria. Kemudian sejak 2015, pemangku ini mulai ngewayang Sapuhleger serta ngeruwat. Kala diwinten itu, disaksikan oleh bendesa adat, kelihan adat, dan pemangku Kahyangan Tiga.

Dewa Mangku Dalang Samerana, juga menjelaskan bahwa setiap orang yang lahir wuku Wayang haruslah diruwat Sapuhleger.

Namun saat diruwat atau bayuh oton, maka harus sama dengan hari kelahirannya. Tetapi tentunya, kata dia, disesuaikan dengan budget masing-masing orang.

Upakara pun mengikuti, karena ada tingkatan nista, madya, hingga utama.

"Kalau memang tidak ada uang, bisa datang ke rumah dalang dengan membawa prayascita dan banten pejati. Untuk meminta panglukatan wayang. Tirta ini yang penting," sebutnya. 

Namun ia mengingatkan agar dalang tersebut adalah dalang yang benar-benar telah mawinten. Mengapa hari kelahiran menjadi penting, karena ada wewaran yang berbeda antara satu orang dengan orang yang lainnya. "Jadi tebasan Redite berbeda dengan tebasan Soma, dan sebagainya," ucapnya.

Kemudian masing-masing hari kelahiran pun memiliki dewanya masing-masing. Dan bahkan setiap kelahiran ada penebusannya. Secara spesifik, bayuh dengan wayang ruwatannya adalah ruwatan Sudamala.

"Semisal anak lahir sendiri atau untang anting. Perlu diruwat wayang Sudamala," sebutnya. 

Sebab anak yang lahir sendirian, tanpa saudara itu biasanya ngemanesin (bersifat panas) baik bagi keluarga maupun dirinya sendiri jika dilihat dari segi kelahiran. Untuk itulah perlu diruwat dengan wayang Sudamala dengan pangruwatan dasa mala.

Baca juga: Keseimbangan Alam Semesta, Pentingnya Tumpek Wariga dan Tumpek Kandang Dalam Hindu Bali

Kemudian upakara juga beda-beda, ada yang memakai penebusan, tebasan, lalu memakai toya pingit.

"Nah kalau toya pingit itu, yang mempunyai upacara meminta air ke pantai pada jam 12 malam dengan membawa pejati ke pantai," sebutnya. Air itu disebut toya pingit, dan dipakai dasar malukat. 

Selain lahir sendiri tanpa saudara, anak yang lahir bertiga pria semua atau wanita semua juga perlu dibayuh. Termasuk jika lahir bertiga, dalam urutan pria wanita pria, atau wanita pria wanita. Maka harus pula dibayuh dengan wayang.

"Nama panglukatannya adalah Dasa Mala dan wayangnya nyudamala," sebutnya.

Semua itu sesuai sastra, yakni kisah Sang Sahadewa yang diberikan anugerah oleh Dewi Durga untuk meruwat dirinya sendiri agar kembali menjadi Dewi Uma. "Sebab apabila beliau masih dalam bentuk Dewi Durga, maka tidak bisa bersatu dengan Dewa Siwa," sebutnya. 

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved