Serba Serbi

Setiap Orang Wajib Mebayuh, Berikut Penjelasan Dewa Mangku Dalang Samerana

Banten magedong-gedongan dalam masyarakat Hindu, dibuat sebagai upaya agar si jabang bayi kuat di dalam rahim ibunya ini

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Dewa Mangku Dalang Samerana 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dewa Mangku Dalang Samerana, menjelaskan bahwa seharusnya setiap orang yang lahir di bumi ini perlu dibayuh. Sebab manusia lahir ke dunia membawa empat saudaranya (kanda pat). 

"Jadi sebelum pembentukan bayi di dalam rahim ibu. Pertemuan kama bang dan kama putih membantuk janin, ini yang namanya I Ciligenuk dan patut diupacarai kalau usia kandungan sudah 7 bulan," sebutnya dalam program acara Bali Sekala-Niskala. 

Banten magedong-gedongan dalam masyarakat Hindu, dibuat sebagai upaya agar si jabang bayi kuat di dalam rahim ibunya ini.

"Sama dengan dalam dunia medis, ada obat penguat janin agar tidak lahir muda atau keguguran," sebutnya. 

Baca juga: Gerimis Menemani, Caru Bayuh Bumi Berjalan Labda Karya

Namun ternyata tak hanya saudara empat saja, sebab ada pula saudara lainnya yang ikut bersama seseorang dan hidup berdampingan di dunia.

"Ada bajang bukal, kebo, dan lain sebagainya sampai sekitar total 108 Semeton," sebutnya. 

Untuk itu, saat seseorang meninggal maka dibuatkan banten pangadang-ngadang. Lalu ada bubuh pirata, tarpana saji, dan lain sebagainya. Tentu bukan tanpa maksud, harus adanya berbagai banten ini untuk diberikan ke-108 nyama tadi. 

"Jadi bukan mayatnya diberi banten, karena kan mayat itu badan kasar yang sudah mati. Sedangkan rohnya yang diberi banten dan diupacarai," sebutnya.

Sehingga di sinilah diperlukan mebayuh. Demi keseimbangan semuanya. 

Dewa Mangku Dalang Samerana, sudah sejak lama melayani umat menjadi dalang. Termasuk dalang wayang Sapuhleger.

Ia resmi menjadi mangku sejak 2001, dan sudah diwinten oleh sulinggih. Kemudian pada tahun 2010 ia menjadi mangku kawitan di merajan. 

Yadnya dan ngayah terus dilakukan, termasuk ngayah menjadi dalang calon arang. "Semua saya lakukan dengan tulus ikhlas," katanya.

Sebelum ia mawinten, ia kerap didatangi leluhurnya. Khususnya leluhur yang merupakan seorang sulinggih kala itu. 

"Leluhur saya asli dari Buleleng, kemudian merantau ke alas Bengkel yang sekarang dikenal dengan nama Beng, Gianyar, sekitar tahun 1611," ucapnya.

Baca juga: Sempat Pingsan Karena Leher Dililit Ular Piton, Gusti Ngurah Bagus Akan Jalani Bayuh Oton

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved