Berita Bali

Daksina atau Banten, Cara Mendekatkan Diri dengan Tuhan Dalam Hindu 

Masyarakat Hindu tidak bisa lepas dari banten, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hari-hari suci tertentu

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Irma Budiarti
Net
Banten Pejati. Masyarakat Hindu tidak bisa lepas dari banten, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hari-hari suci tertentu. 

Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Masyarakat Hindu tidak bisa lepas dari banten, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam hari-hari suci tertentu.

Dijelaskan dalam lontar Yajna Prakrti, bahwa banten adalah lambang alam semesta dengan segala isinya. 

Banten daksina, satu diantaranya yang merupakan lambang alam stana terhormat dari Tuhan, sebab daksina berarti penghormatan.

Di dalam daksina, ada banyak isiannya, dan kepala serta telur adalah dua isian yang cukup penting dan harus ada di dalam banten daksina.

Baca juga: Mengapa Leluhur Disembah? Berikut Penjelasannya dalam Hindu Bali

Hal tersebut karena kelapa dan telur sebagai perlambang alam itu sendiri.

Sebab kelapa dan telur memiliki unsur-unsur Panca Maha Bhuta yang lengkap.

Daksina juga berarti memberi dengan tangan kanan, yang kemudian berkembang artinya secara luas menjadi menghormati dengan wujud nyata. 

Sehingga daksina merupakan lambang alam semesta sebagai stana terhormat dari Tuhan.

Selain daksina, ada juga banten tumpeng yang bentuknya kerucut menyerupai gunung.

Dan memang banten tumpeng ini adalah sebagai lambang gunung. 

Hal tersebut dijelaskan dalam lontar Dharma Sunia Gunung, bahwa banten tumpeng adalah bentuk ringkas dari bhuana.

Tentu saja bhuana adalah perwujudan nyata dari Tuhan.

Ada lagi banten Pulagembal, yang melukiskan keberadaan alam ini lebih rinci dan lebih lengkap.

Hal ini diwujudkan melalui jajan cecalcalan.

Baca juga: Hukum Rta, Berikut Sekilas Ilmu Astronomi Dalam Hindu 

Berbagai bentuk jajan, ada jajan yang menggambarkan isi lautan, jajan melambangkan isi taman bunga.

Jajan yang menggambarkan berbagai jenis burung.

Jajan yang melukiskan air, bangunan, dan lain sebagainya.

Sehingga disebutkan bahwa banten Pulagembal menggambarkan keadaan alam yang indah dan lestari sebagai sumber kehidupan umat manusia. 

Masih banyak lagi banten atau sarana upakara yang lebih kompleks, dibandingkan dengan banten daksina, seperti banten bebangkit.

Banten ini konon merupakan lambang alam dalam keadaan dahsyat.

Sebab dewi dari banten bebangkit adalah Dewi Durga.

Banten bebangkit biasanya disertai dengan banten Pulagembal.

Perlu diketahui bahwa kedua penyatuan banten tersebut dalam satu tempat, sebagai lambang positif dan negatif. 

Layaknya alam semesta ini, memiliki sisi positif dan negatifnya.

Baca juga: Rahina Pemacekan Agung, Berikut Filosofinya dalam Hindu

Untuk itu dalam Sarassamucaya 135, diajarkan apabila manusia memberikan kasih pada alam lingkungan untuk melakukan Bhuta Hita.

Maka alam itu akan memberi dampak positif.

Namun apabila hanya mengambil keuntungan saja dari alam, tanpa mau berkorban menjaga kelestarian alam.

Maka alam itupun akan menampakkan wujudnya yang mengerikan seperti bencana dahsyat. 

Sehingga tujuan membuat banten atau sarana upakara ini adalah untuk mendekatkan diri dengan Tuhan.

Kemudian dengan sesama manusia, dan dengan alam semesta.

Kekuatan akan muncul apabila manusia bisa menjaga keseimbangan semuanya ini, sesuai ajaran Tri Hita Karana.

Kekuatan berupa keharmonisan dan keseimbangan alam semesta.

Semuanya dikonkretkan dengan sarana upakara atau banten.

Memunculkan nilai spiritual dan material yang seimbang.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved