Bali
Penari Rangda dan Barong Harus Paham Pakem dan Tetuek
Komang Gases saat menjadi narasumber dalam program Tribun Bali, bertajuk Bali Sekala-Niskala yang tayang pada Jumat, 3 Desember 2021, pukul 18.00 WITA
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Harun Ar Rasyid
Ia mengingatkan, selama pakem dan tetuek dipahami akan mampu meminimalisir terjadinya kecelakaan itu.
Baca juga: BPKP Gelar Klarifikasi Kasus Pengadaan Masker di Dinas Sosial
“Supaya tidak seolah-olah kita menyalahkan tarian rangda atau tari sakral lainnya, padahal kesalahan itu ada pada penari tersebut,” tegasnya.
Ibarat seorang supir kendaraan bermotor, tatkala ia tidak paham aturan dan tidak memiliki legalitas.
Maka saat terjadi kecelakaan, maka dirinya lah yang disalahkan.
“Sama pada tarian sakral, jadi penari itu pun harus punya izin sebelum menari, izin sekala-niskala,” imbuhnya.
Izin sekala, bahwa penari itu harus bisa menari dan paham pakem tarian sakral.
Izin niskala, penari itu harus mawinten atau mabersih, membersihkan dirinya sehingga pantas menarikan tarian sakral.
Oleh karena itu, penari dari tarian yang disakralkan harus melewati proses mawinten, mabersih, dan tahu tattwa tarian rangda.
“Yang terjadi selama ini, adalah kurangnya pemahaman. Sehingga bias dan akhirnya ada yang tembus saat ngurek,” jelasnya. Padahal secara sederhana, prinsip juru solah rangda minimal mengikuti tattwa, susila dan upacara.
Baca juga: Presiden Jokowi Hadiri Peluncuran Peta Jalan Ekonomi Kerthi, Sebut Ada 3 Hal yang Jadi Perhatian
“Tattwa itu, jadi bagaimana tetueknya. Kemudian etika sebagai penari rangda, dan tentunya upacara yang harus dilewati sebelum menari. Dengan proses minimal mawinten, mabersih, dan paham pakem,” tambahnya.
Tatkala ini semua dijalankan, maka tarian akan berjalan rahayu.
Harus pula dibedakan, apakah tarian rangda yang ditarikan merupakan tarian sakral atau tarian profan (hiburan).
Komang Gases menjelaskan, secara umum tarian di Bali dibagi menjadi tiga.
Diantaranya tari wali, bebali, dan balih-balihan. Namun secara luas, masyarakat mengenal tarian itu dibagi menjadi dua yakni tarian sakral dan tarian profan (non sakral).
“Nah ketika sebuah rangda itu telah melewati proses, maurip-urip, pasupati, dan diproses ritual secara sakral dengan upakara. Maka bisa dinyatakan bahwa rangda atau barong tersebut sakral dan pingit (disucikan),” tegasnya.