Guru di Pesantren Rudapaksa Santriwati

Kasus Guru Rudapaksa Santriwati: Orangtua Menangis, Disodori Bayi 4 Bulan, Seperti Kiamat

Ketua (P2TP2A) Garut Diah Kurniasari Gunawan mengaku merasakan kekecewaan dari para orangtua santri yang dirudapksa gurunya

Penulis: I Putu Juniadhy Eka Putra | Editor: Irma Budiarti
KOMPAS.com/ARI MAULANA KARANG
Ketua P2TP2A Garut Diah Kurniasari Gunawan didampingi tim psikolog saat memberikan keterangan pers kepada wartawan soal guru pesantren di Bandung perkosa 12 santriwatinya, Kamis 9 Desember 2021 malam. Kebanyakan korban berasal dari Garut, Jawa Barat. Kasus Guru Rudapaksa Santriwati: Orangtua Menangis, Disodori Bayi 4 Bulan, Seperti Kiamat 

TRIBUN-BALI.COM  - Ketua Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Garut Diah Kurniasari Gunawan mengaku merasakan kekecewaan, marah yang  berkecamuk dari para orangtua santri dari Garut yang anaknya menjadi korban rudapaksa gurunya di Cibiru, Bandung, Jawa Barat.

Diketahui, belasan korban rudapaksa guru pesantren berinisial HW tersebut, 11 diantaranya berasal dari Garut, Jawa Barat.

Selain itu, 11 korban rudapaksa Guru di Pesantren memiliki ikatan persaudaraan serta bertetangga.

Dilansir Tribun-Bali.com dari Kompas.com pada Jumat 10 Desember 2021 dalam artikel berjudul Orangtua Santriwati Korban Perkosaan Guru Pesantren Menangis Saat Disodori Bayi 4 Bulan oleh Anaknya, Dunia Serasa Kiamat..., Diah sendiri menyaksikan pilunya momen pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya.

Para orangtua sebelumnya percaya anak-anaknya tengah menuntut ilmu di pesantren.

Baca juga: Santriwati Korban Rudapaksa Histeris Tutup Telinga dengar Suara Herry Wirawan

Namun, anak mereka malah dirudapaksa oleh guru ngajinya yang mereka percayai sebelumnya.

"Rasanya bagi mereka mungkin dunia ini kiamat, ada seorang bapak yang disodorkan anak usia 4 bulan oleh anaknya, enggak, semuanya nangis," jelasnya.

Orangtua Korban Berat Terima Kenyataan

Peristiwa pilu itu terjadi saat dirinya mengawal pertemuan para orangtua dengan anak-anaknya di Kantor P2TP2A Bandung, setelah dibawa keluar dari lingkungan pondok pesantren oleh penyidik Polda Jabar.

Kondisi yang sama, menurut Diah, juga terjadi di Kantor P2TP2A Garut saat para orangtua yang tidak tahu anaknya menjadi korban pencabulan guru ngajinya diberi tahu kasus yang menimpa anaknya, sebelum akhirnya mereka dipertemukan pertama kali di Kantor P2TP2A Bandung sebelum dibawa ke P2TP2A Garut.

Menurut Diah, selain berat menerima kenyataan anaknya jadi korban, para orangtua juga kebingungan membayangkan masa depan anak-anaknya dan lingkungan tempat tinggal mereka yang dikhawatirkan tidak bisa menerima.

"Di kecamatan ini (lingkungan rumah korban), saya sampai datang beberapa kali nengok yang lahiran, ngurus sekolahnya, ketemu tokoh masyarakatnya," katanya.

Orangtua Korban Terima Dampingan Psikologi

Kasus ini, menurut Diah, sangat-sangat menguras emosi semua pihak, apalagi saat dilakukan terapi psikologi terhadap anak-anak dan orangtua yang dilakukan tim psikolog P2TP2A.

"Sama, kita semua juga marah pada pelaku setelah tahu ceritanya dari anak-anak, sangat keterlaluan, kita paham bagaimana marah dan kecewanya orangtua mereka," katanya.

Baca juga: RESMI Dosen Unsri Jadi Tersangka Kasus Pelecehan Seksual Mahasiswi, Langsung Ditahan

Orangtua korban kebanyakan bukan orang mampu, berharap sekolah gratis di pesantren.

Menurut Diah, P2TP2A menawarkan berbagai solusi kepada anak-anak dan orangtuanya terkait posisi anak yang dilahirkan dari perbuatan cabul guru ngajinya.

Bahkan, jika para orangtua tidak mau mengurusnya, P2TP2A siap menerima anak tersebut.

Sebab, menurut Diah, para orangtua korban bukan orang-orang yang tergolong mampu.

Mereka kebanyakan adalah buruh harian lepas, pedagang kecil, dan petani yang tadinya merasa mendapat keuntungan anaknya bisa masuk pesantren sambil sekolah gratis.

"Alhamdulillah, yang rasanya mereka (awalnya) tidak terima, namanya juga bayi, cucu darah daging mereka, akhirnya mereka rawat, walau saya menawarkan kalau ada yang tidak sanggup, saya siap membantu," katanya.

Kisah orangtua, Anaknya Lahirkan Dua Anak dari Rudapaksa HW

Begitu pula dengan orangtua korban yang anaknya memiliki dua anak dari guru ngajinya tersebut.

Menurut Diah, anak pertamanya berusia 2,5 tahun dan beberapa bulan lalu melahirkan anak kedua, orangtua dan anaknya mau merawatnya.

"Saya nengok ke sana (rumahnya), menawarkan (bantuan) kalau enggak sanggup merawat, ternyata mereka tidak ingin dipisahkan anaknya, dua-duanya perempuan," kata Diah.

Baca juga: Paman Rudapaksa Keponakan di Jembrana, ZA Setubuhi Korban Sebanyak Lima Kali

Korban yang melahirkan paling akhir pada November 2021 lalu usianya masih 14 tahun.

Setelah melahirkan, dirinya pun menawarkan bantuan jika orangtuanya tidak sanggup mengurus, namun orangtuanya mau mengurus.

"Setidaknya, mereka sudah menerima takdir ini, nanti saya berencana mau nengok juga ke sana," katanya.

Pesantren Ditutup, Korban Dipindahkan

Dilansir Tribun-Bali.com dari TribunJabar.id pada Jumat 10 Desember 2021, dalam artikel berjudul Santriwati Korban Rudapaksa Menjerit Histeris dan Tutup Telinga dengar Suara Herry Wirawan, Kementerian Agama (Kemenag) menutup dan mencabut izin pesantren di Kota Bandung yang selama ini dipergunakan Herry Wirawan (36), terdakwa predator anak, menjalankan aksi bejatnya.

Kepala Kemenag Kota Bandung Tedi Ahmad Junaedi mengatakan, selain mengajukan pembekuan lembaganya, Kemenag juga memutuskan memindahkan semua santriwati pesantren tersebut ke lembaga pendidikan lain.

Ia mengatakan, termasuk ke-12 santriwati yang menjadi korban, total ada 35 santriwati yang terdaftar di pesantren tempat Herry Wirawan menjalankan aksinya.

Kemenag, kata Tedi, akan memfasilitasi seluruh proses administrasi hingga anak dipastikan mendapat tempat di sekolah yang baru, baik itu pondok pesantren atau sekolah formal.

"Dari aduan orangtua, masih ada 16 anak yang belum punya ijazah setara paket B dan C. Padahal telah lulus sejak 2019 dan 2020, tapi belum diberikan.

Baca juga: Pria Bernama Lalan Ini Dihukum Mencuci Pakaian Perempuan 1 Desa akibat Hendak Perkosa Gadis

Kita terus berkoordinasi dengan kepolisian karena bangunannya sudah diamankan," ujarnya kepada Tribun Jabar, Kamis 9 Desember 2021.

Kemenag, ujar Tedi, juga ikut melakukan pendampingan.

"Kasus kriminalnya ditangani oleh Polda Jabar, psikologi anak oleh Dinas DP3A, dan Kemenag membina dan menangani kelembagaan serta kelanjutan pendidikan anak-anak tersebut," ujarnya.

Kepala Bidang Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kanwil Kemenag Jawa Barat Abdurrohim mengatakan, bersama Polda Jabar pihaknya sepakat menutup atau membekukan kegiatan belajar mengajar di pesantren tahfidz tersebut.

(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved