Serba Serbi
Malukat di Merajan dan Genah Panglukatan, Apa Bedanya?
Biasanya malukat dilakukan di geria yang ada sulinggih, atau di merajan dan sanggah sendiri. Bisa pula mendatangi pura yang ada genah panglukatannya
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Malukat adalah salah satu ritual yang tidak bisa lepas dari masyarakat Hindu di Bali.
Malukat secara garis besar adalah pembersihan diri, dari hal negatif baik bersifat sekala (nyata), maupun niskala (tidak nyata).
Biasanya malukat dilakukan di geria yang ada sulinggih, atau di merajan dan sanggah sendiri. Bisa pula mendatangi pura yang ada genah panglukatannya.
Biasanya pura yang ada genah malukatnya, berisi sumber mata air dari tanah, batu, atau sumber mata air lainnya baik laut, gunung, hingga campuhan (pertemuan antara dua aliran air).
Baca juga: Malukat, Berikut Filosofinya Dalam Hindu Bali
Namun hingga saat ini, ada saja fenomena orang yang tidak percaya malukat di pura atau genah malukat di luar merajan dan sanggah.
Hal tersebut dipertanyakan seorang netizen, dengan mengirim email ke redaksi Tribun Bali.
Dikonfirmasi kepada Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, beliau menjelaskan dengan sangat diplomatis.
Beliau yang berdiam di Griya Bhuwana Dharma Shanti, Sesetan, Denpasar tersenyum dengan pertanyaan netizen ini.
Sebagai seorang wiku, yang juga kerap membantu umat malukat di griya.
Ida Rsi berkata, bahwa genah panglukatan yang berisi pancoran atau campuhan dan lain sebagainya secara umum sudah dikenal sejak lama oleh umat Hindu.
"Secara umum genah panglukatan seperti itu, sudah baik dan kerap digunakan oleh umat dari berbagai penjuru untuk membersihkan diri," jelasnya kepada Tribun Bali, Selasa 15 Februari 2021.
Asalkan sesuai tujuan untuk membersihkan diri, jiwa dan raga, maka malukat dimana saja baik adanya.
Hanya saja, beliau melihat dari sudut pandang orang yang tidak mau malukat selain di griya atau di merajan dan sanggah.
Bahwa mungkin saja bagi mereka itu, kata beliau, malukat di lokasi panglukatan yang terkadang sepi dan tidak ada pemangku untuk membacakan japa mantra.
Baca juga: Roh Leluhur dan Ida Bhatara Beryoga, Rahina Purnama Baik untuk Malukat
Membuat suasana ritual malukat dirasa kurang, karena hanya dengan menghaturkan canang dan membasuh badan saja.
"Terkadang bagi beberapa orang, malukat secara ramai dan tanpa japa mantra pemangku atau sulinggih. Secara psikologis dirasa kurang kuat esensinya," jelas pensiunan dosen UNHI ini.
Sehingga bagi beberapa orang, kurang suka malukat di lokasi panglukatan. Khususnya bagi orang yang suka dengan suasana khusyuk, malukat terlalu ramai dianggap seperti mandi biasa. Padahal esensinya sama saja.
Sebab dalam Hindu sumber mata air, khususnya yang telah dibangun pura memang dianggap berkah dan bisa membersihkan energi negatif dari diri.
Kemudian bagi orang tersebut, yang suka malukat di kamulan merajan, atau sanggahnya dianggap lebih berkah.
Sebab biasanya ada yang memberikan mantra, baik itu pemangku atau sulinggih. Dengan mengucapkan mantra yang sesuai untuk malukat, hal tersebut dianggap lebih khusyuk.
"Apalagi kalau malukat di kamulan merajan atau sanggah, ada syarat etika tertentu. Seperti tidak boleh bercanda, berpakaian rapi dan masih banyak syarat upakara dan upacara lainnya," sebut beliau.
Hal inilah yang membuat sebagian orang kian percaya dan yakin, bahwa malukat di kamulan dengan dibarengi mantra akan lebih baik.
Beliau mengingatkan, bahwa hal tersebut adalah pengaruh secara psikologis.
Namun beliau pula menambahkan, bahwa secara niskala malukat dengan sarana upakara dan upacara yang lengkap.
Baca juga: Kajeng Kliwon Enyitan Berbarengan Tilem Kapat & Buda Kliwon Gumbreg, Hari Baik untuk Muspa & Malukat
Apalagi dipadu doa dan mantra oleh pemangku atau sulinggih, memang lebih memiliki aura positif. Sebab jika dilakukan di kamulan merajan atau sanggah, itu langsung meminta restu kepada leluhur dan bhatara-bhatari yang berstana di palinggih rong tiga. Sehingga banyak yang merasa lebih mantap.
Hal ini diamini oleh Jero Mangku Ketut Maliarsa, pemangku dari Pura Campuhan Windhu Segara.
Pensiunan kepala sekolah ini, menegaskan bahwa malukat harus diawali dan didasari dengan keyakinan, doa dan usaha.
"Tempat malukat ada banyak, bisa di tempat suci seperti pura dan beji. Bisa pula di laut, lebuh dan jaba sanggah atau merajan," sebut pemangku asli Bon Dalem ini.
Intinya adalah keyakinan yang malukat dimana, dan harus tanpa paksaan.
Sebab keyakinan dan kepercayaan inilah, kata dia, yang menjadi modal utama untuk melakukan pembersihan jasmani dan rohani.
Apalagi dalam Hindu di Bali, kepercayaan adalah hal penting, dan salah satu ajaran penting dalam Panca Sradha.
Intinya adalah sarana panglukatan, berasal dari air suci dan bisa diberikan bunga atau kembang yang harum nan indah.
Ditambah doa, usaha dan keyakinan yang malukat, maka niscaya pembersihan diri akan tercapai. "Hal inilah yang harus ditanamkan dan dipahami betul sebelum malukat," tegasnya.
Sehingga tidak terjadi salah paham dan salah konsep dalam memahami makna malukat. Jero Mangku Ketut Maliarsa, juga mengingatkan bahwa malukat bertujuan menyucikan serta membersihkan angga sarira (stula sarira).
Tidak kalah penting pula, malukat bertujuan untuk membersihkan suksma sarira sehingga kejernihan pikiran dan hati yang bersih akan hadir.
Salah satu air suci yang dianggap paling baik untuk malukat adalah campuhan. Biasanya campuhan ini adalah pertemuan dua aliran sungai, atau pertemuan aliran sungai dengan laut dan pertemuan air lainnya.
Sehingga campuhan dianggap air suci yang keramat, dan hal itupun dijelaskan dalam Weda. Pertemuan air lebih dari satu itu, yang kemudian banyak menjadi lokasi malukat khususnya di Pulau Dewata.
"Campuhan berasal dari kata campuh yang artinya campur menjadi satu kesatuan," imbuhnya. Misalkan saja, pertemuan air laut dengan air sungai seperti pertemuan sungai Ayung dan pantai Padang Galak di Pura Campuhan Windhu Segara. Atau pula tempat malukat di beji Pura Purwa Siddhi Ponjok Batu.
"Bahkan di Pura Ponjok Batu, ada lima campuhan mata air yaitu mata air dari Gunung Rinjani, Gunung Beratan, Gunung Batur, Gunung Agung dan dari air laut. Makanya disebut panglukatan Panca Tirta," sebutnya. (*)
Artikel lainnya di Serba Serbi