Human Interest Story
Kisah Kolektor Kaset Pita di Tabanan, Pernah Beli Patungan dan Pakai Gantian
Puluhan kaset tampak terpajang rapi di sebuah rak besi berwarna hitam dan cokelat di GCS 13 wilayah Sanggulan, Kecamatan Kediri
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Puluhan kaset tampak terpajang rapi di sebuah rak besi berwarna hitam dan cokelat di GCS 13 wilayah Sanggulan, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali, Kamis 17 Maret 2022 malam.
Tumpukan rapi tersebut bukanlah kaset CD ataupun kaset vinyl, melainkan kaset pita yang berjaya di era tahun 1980-an.
Kaset pita itu merupakan koleksi seorang warga Tabanan dari 1985 hingga tahun 2000-an.
Koleksi kaset pita yang terpajang rapi tersebut lebih dominan genre rock dan metal, di antaranya Sepultura, Pantera, Iron Maiden dan Metallica.
Baca juga: Kisah Pura Penataran Agung Besakih, Tempat Berkumpul Bhatara
Selain itu juga ada beberapa kaset pita band Indonesia, seperti Metalik Klinik yang merupakan album serial atau kompilasi beberapa band.
Album Metalik Klinik itu pertama kali terbit tahun 1997 silam.
Tak hanya band internasional dan band Indonesia, pria asli Desa Banjar Anyar Kecamatan Kediri itu juga memiliki sejumlah koleksi band Bali, seperti Lolot.
Sedikitnya ia sudah memiliki koleksi kaset pita 81 buah dari berbagai genre.
Pemilik Warung GCS 13 dan kolektor kaset pita I Gusti Bagus Arya Candra Palasara menuturkan, awalnya atau sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD) ia memang menjadi penikmat musik.
Saat itu tahun 1980-an atau dimana masa kaset pita adalah barang yang istimewa.
Kemudian pada 1985-86 atau saat ia sudah duduk di bangku SMP ia mulai membeli kaset pita.
"Awalnya sejak sekolah atau sejak SD menjelang SMP itu saya memang sudah suka musik. Saya bukan pemain musik, tapi penikmat musik. Jadi segala genre memang saya nikmati," tutur pria berkacamata itu saat dikunjungi di rumahnya, Kamis malam.
Pria yang lebih akrab disapa Tugus Dewara ini melanjutkan, sejak pertama kali ia membeli kaset pita harganya sangat murah jika dibandingkan dengan sekarang yakni Rp 2.500 hingga Rp 3.000.
Namun, jika saat itu, mengumpulkan uang senilai itu sangatlah berat mengingat harga barang-barang saat itu masih dimulai dari angka puluhan rupiah.
Selain mengumpulkan uang saku, ia juga terpaksa mendobrak celengannya yang sudah ditabung sejak beberapa bulan.