Serba Serbi

Perayaan Pagerwesi di Buleleng Berbeda dengan Wilayah Lain, Ini Penjelasannya

Hari suci Pagerwesi yang jatuh pada hari Buda Kliwon Sinta ini, datangnya setiap 6 bulan sekali atau setiap 210 hari

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Sejumlah Krama Desa Adat Buleleng saat melaksanakan tradisi Memunjung di hari raya Pagerwesi . 

Kemudian Smerti atau ajaran yang turun melalui rasa serta hasil ingatan.

Sila yakni ajaran tingkah laku. Acara/upakara adalah tradisi yang berlaku. Serta Atmanastuti kepuasan yang diperoleh.

"Dari konsep itu juga dibarengi dengan adanya dresta yaitu  kebiasaan atau tradisi, seperti purwa dresta(kebiasaan yang berlaku dari zaman dulu), sastra dresta (kebiasaan berdasarkan petunjuk ajaran agama dari sumber sastra). Serta adanya desa dresta dan loka dresta (kebiasan yang berlaku pada suatu wilayah).

Maka dengan konsep inilah, yang akhirnya membedakan perayaan hari suci Pagerwesi antara daerah Buleleng dengan daerah lain. Yakni dengan adanya acara atau upacara yang sering disebut ritual.

Dalam pelaksanaannya di daerah Buleleng, Pagerwesi kemudian dilakukan seperti hari suci Galungan.

Bahkan bagi umat Hindu daerah Buleleng, hari suci Pagerwesi merupakan hari istimewa karena dipakai ajang bertemunya keluarga untuk berkumpul dan bersilaturahmi.

Persembahyangan tidak hanya dilakukan di pura kahyangan jagat, pura merajan, tetapi juga ada pelaksanaan ritual memunjung ke kuburan atau ke setra.

Khususnya jika ada keluarga yang meninggal namun belum diaben atau nyekah.

Maka wajib keluarga yang ditinggalkan melaksanakan ritual memunjung ini, sambil acara makan-makan bersama di kuburan.

Baca juga: Sembahyang Pagerwesi di Pura Jagatnatha, Didominasi Warga Buleleng yang Tinggal di Denpasar

"Hal itu kemudian menjadi sisi unik perayaan di Buleleng. Tetapi hal ini biasanya banyak dilakukan di perkotaan Singaraja," katanya.

Umat Hindu Buleleng meyakini bahwa hari suci Pagerwesi adalah otonan jagat, sama dengan hari suci Galungan.

Bahkan jatuhnya sama-sama pada Buda Kliwon. Sebab untuk Galungan Buda Kliwon Dungulan, dan Pagerwesi jatuh pada Buda Kliwon Sinta.

"Jika dilihat dari esensi pelaksanaan sebenarnya sama juga, yaitu memuja keagungan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi beliau sebagai Hyang Pramesti Guru atau Tuhan itu sendiri dan guru alam sebagai guru Swadyaya,"sebutnya.

Dapat disimpulkan bahwa perbedaan pelaksanaan hari suci di Buleleng dengan daerah lain, imbuh dia, merupakan kultur atau dresta yang berlaku. Dan ini diyakini memperkaya khasanah budaya Bali. Sehingga pulau Bali terkenal di mancanegara karena kekayaan kultur atau budayanya.

"Nah dapat dikatakan perbedaan itu indah, dan intinya sama untuk mencapai tujuan akhir agama Hindu yaitu "Moksartam Jagadhita Ya Ca Iti Dharma" yang artinya untuk mencapai kebahagian lahir dan batin berdasarkan ajaran kebenaran( ajaran Dharma).

Atau dikenal pula dengan istilah menyatu dengan Tuhan atau Brahman. Dari sini pula akhirnya Pagerwesi dikenal dengan istilah Galungan kecil atau alit.(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved