Wawancara Tokoh
Kajati Jabar Asep N Mulyana, Yayasan Milik Herry Harusnya Dibubarkan
MESKI mengabulkan permohonan banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat terkait kasus pemerkosaan
TRIBUN-BALI.COM, BANDUNG - MESKI mengabulkan permohonan banding yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat terkait kasus pemerkosaan belasan santriwati oleh terdakwa Herry Wirawan, Pengadilan Tinggi Bandung tetap menolak membubarkan yayasan yang dikelola Herry.
Ketua JPU, yang juga Kajati Jabar, Asep N Mulyana, mengaku bisa memahami dan menerima hal itu.
Berikut lanjutan petikan wawancara eksklusif Pemimpin Redaksi Tribun Jabar, Adi Sasono dengan Kajati Jabar, Asep N Mulyana, di Kejati Jabar, Rabu 6 April 2022.
PT Bandung tidak mengabulkan pembubaran yayasan yang dikelola Herry Wirawan. Bagaimana tanggapan Anda?
Baca juga: Kerugian Sentuh Angka Rp130 M, Kasus Korupsi LPD Desa Adat Sangeh Kini Diambil Alih Kejati Bali
Pertama kami mengapresiasi, karena ada perubahan di tingkat pertama.
Sekarang sudah mengakomodasi tuntutan kami.
Kedua, soal restitusi yang di tingkat pertama dibebankan kepada negara, sekarang dibebankan kepada terdakwa.
Terkait pembubaran yayasan, kami juga menghormati.
Apa sebenarnya alasan JPU mengajukan pembubaran yayasan tersebut?
Alasannya, karena yayasan ini menjadi alat pelaku melakukan kejahatan.
Jadi, kalau saya sekarang datang menggunakan sepeda motor untuk melakukan kejahatan, tentu sepeda motor itu harus dirampas karena itu alat.
Kalau tidak ada sepeda motor, saya belum tentu melakukan kejahatan.
Sama halnya dengan ini, belum tentu ada orangtua anak ini mau menitipkan anaknya kalau tidak ada yayasan dan di tempat itu dilakukan kejahatan.
Dalam fakta persidangan, terdakwa berkali-kali melakukan kejahatan atau kekerasan kepada anak-anak di tempat itu, makanya kami mengajukan agar dirampas oleh negara karena sebagai instrumen kejahatan.
Kedua, ini juga dinamakan corporate misdad atau korporate kejahatan.
Artinya sejak awal yayasan ini memang dibuat untuk melakukan kejahatan.
Kami melihat rentang waktu antara pendirian yayasan dengan kejahatan pelaku.
Jadi, sebenarnya pondok pesantren ini tidak melakukan kegiatan yang seharusnya, tapi untuk kejahatan.
Dalam teori, ketika ada sebuah badan hukum yang sejak awal digunakan untuk kejahatan, badan hukum itu harus dihukum.
Hukumannya bisa pembubaran serta penyitaan asetnya dan diserahkan kepada negara.
Dalam kasus ini, kejaksaan ternyata juga ikut mengurusi save house bagi para korban kejahatan Herry Wirawan. Mengapa?
Soal save house ini, sejak awal kami memang sudah berkoordinasi dengan LPSK, pegiat anak, bahkan dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, melibatkan Dinas Sosial, Dinas Pendidikan, Dinas Kependudukan dan Pencatatan sipil, serta Kementerian Agama Kanwil Jabar.
Mengapa kami mengumpulkan itu dan berkoordinasi dengan mereka? Karena ini harus tertangani. Anak-anak ini tidak mungkin harus menunggu sampai putusan.
Tanpa bermaksud untuk mendahului keputusan hakim, maka sudah kami siapkan rumah aman.
Kami juga sudah bekerjasama dengan Dinas Sosial Provinsi Jabar, Unit Perlindungan Anak, dan bahkan tidak hanya sampai di situ.
Baca juga: Kajati Jabar Asep N Mulyana, Kasus Herry Bukan Semata Asusila
Kami juga mengundang semua elemen masyarakat.
Semua itu bagian komitmen kami, kesungguhan kami untuk secara komprehensif dalam perkara ini, tidak hanya tertuju pada pelakunya, tetapi juga bagaimana kita memikirkan anak-anak ini, karena kita harus mengedepankan kepentingan terbaik untuk anak-anak.
Di Garut ada anak korban yang dikeluarkan dari sekolah karena sekolah tahu anak itu korban. Bagaimana Anda melihat ini?
Itulah. Makanya kami koordinasi dengan Dinas Pendidikan. Kami sampaikan pada saat rapat.
Kami mengajak mereka. Ini bagaimana yang berbuat orang lain, tapi dia yang jadi korban.
Makanya anak-anak ini korban dua kali. Akhirnya waktu itu, sepakat kami meminta kepada anak-anak itu untuk memilih, apakah mau mengikuti pendidikan formal atau mau memilih pendidikan pesantren.
Jadi, semuanya sudah sangat kami pikirkan.
Kami juga mengundang dinas pencatatan sipil untuk bagaimana nanti akta kelahirannya anak korban, karena akan berpengaruh pada psikologis anak itu, karena semua orang tahu bahwa bapaknya pelaku kejahatan seksual yang sangat serius.
Bagaimana kalau tidak dicantumkan nama bapaknya dalam akte anaknya.
Dan itu sudah dipikirkan oleh dinas kependudukan dan lencatatan sipil. Jadi hal-hal detail pun sudah kami pikirkan
Apakah ini save house pertama yang dibuat kejaksaan?
Kalau Jawa Barat mungkin pertama. Kerjasama kami dengan Pemkab Sumedang.
Di situ ada beberapa tempat untuk anak-anak belajar dan itu kita kasih tage line Jatinangor (jangan tinggalkan anak-anak korban).
Jadi, tidak terbatas kepada mereka yang menjadi korban kejahatan, tetapi juga kami dengan tangan terbuka, bagi anak-anak yang berhadapan dengan hukum.
Anak-anak itu ditampung semua di situ?
Kami memberikan pilihan, kebebasan kepada mereka.
Tidak harus menjadi suatu kewajiban tinggal di situ.
Ada juga anak-anak yang memilih di Purwakarta, di rumah Adhiyaksa.
Kami hanya memfasilitasi untuk mengakomodasi kepentingan anak.
Kalau anaknya mau tinggal bersama orangtua, silakan.
Kami harus memahami betul bahwa pendidikan terbaik adalah pendidikan keluarga.
Kita hanya bisa membantu memfasilitasi dan yang pasti, kami ingin anak-anak itu jangan hilang masa depannya.
Dipantau sampai kapan?
Secara teknis kami serahkan kepada pemerintah daerah.
Kami hanya aparat penegak hukum.
Seberapa yakin vonis mati ini dapat menimbulkan efek jera?
Bukan berbicara yakin atau tidak yakin, tapi upaya harus dilakukan.
Ini salah satu saja untuk memberikan efek jera pelaku, sekaligus memberikan pesan kepada yang lain, untuk tidak melakukan kejahatan serupa.
Kedua, pencegahan itu bukan hanya domain kejaksaan, tapi semua elemen mempunyai kewajiban yang sama. (nazmi abdurahman)
Kumpulan Artikel Nasional