Human Interest Story

Kisah Mangku Eko dan Pabrik Dupa Dubali1, dari Door to Door, Kini Punya Ratusan Karyawan Warga Lokal

Kisah Mangku Eko Bangun Pabrik Dupa Dubali1 - Awalnya Door to Door, Kini Pekerjakan Ratusan Warga Lokal.

Penulis: Muhammad Fredey Mercury | Editor: Harun Ar Rasyid
Tribun Bali/Muhammad Fredy
Kisah Mangku Eko Bangun Pabrik Dupa Dubali1 - Awalnya Door to Door, Kini Pekerjakan Ratusan Warga Lokal. 

Selain itu, dirinya juga selalu berinovasi. Misalnya dari bentuk dupa yang memiliki lebih dari 20 varian bentuk. Dari segi metode juga ada dua, yakni basah dan kering.

Harganya pun variatif. Untuk dupa kering dijual dengan kisaran Rp. 35 hingga Rp. 70 ribu per kilo.

Di mana satu kilo berisi 760 batang dupa. Sedangkan varian dupa basah, dijual di kisaran harga kisaran Rp. 50 ribu hingga Rp. 160 ribu.

"Dari segi nyala, kami mampu menciptakan dupa yang nyalanya 1 jam sampai 12 jam. Kalau dupa yang bentuk spiral lingkar, kami bisa menciptakan yang nyalanya sampai 27 jam. Dan kami juga sudah mampu menciptakan ikon dupa Bali yang kami beri nama Dupa Temu Suci," ungkapnya.

Pendapatan bulanan dari menjual dupa yang mulanya Rp. 10 juta per bulan, kini telah mencapai Rp. 300 juta per bulan. Meski demikian, pria 44 tahun itu menegaskan dirinya tidak berorientasi pada provit semata.

"Uang memang penting sekali, tapi tidak selamanya. Yang saya inginkan adalah mampu memberi manfaat bagi warga lokal disini," tegasnya.

Oleh sebab itu pula, walaupun jelang hari raya Galungan dan Kuningan permintaan dupa kian melonjak, Mangku Eko mengaku tidak menaikkan harganya. "Selama 22 tahun, kami tidak pernah menaikkan harga saat hari raya.

Bentuk dupa spiral
Bentuk dupa spiral (Tribun Bali/Muhammad Fredy)

Kalau sehari rata-rata produksinya 400 kilo. Sedangkan jelang hari raya, peningkatannya kisaran 30 persen hingga 50 persen," sebutnya.

Diungkapkan pula, saat ini untuk bahan baku pembuatan dupa seluruhnya aman.

Karena hampir 80 persen bahan baku berasal dari Bali. Hanya 20 persen bahan baku dari luar Bali, yakni Sumatera berupa kemenyan, Kalimantan berupa gaharu, hingga Kupang berupa cendana.

"Kami menggunakan kemenyan asli, yang biasanya disebut kemenyan madu oleh orang Bali," tandasnya.

BERITA LAINNYA

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved