Citizen Journalism

Angkat Topi Buat Wanita, Khususnya Wanita Bali

Emansipasi memberikan kesempatan wanita untuk menuntut ilmu lebih tinggi, bekerja, dan banyak kesetaraan gender lainnya yang selama ini dimonopoli

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: I Putu Juniadhy Eka Putra
Tribun-Bali.com / Anak Agung Seri Kusniarti
Ilustrasi wanita Bali - Wanita Bali saat sedang melakukan Upacara Yadnya 

Kenapa? Sebab selain poin di atas, wanita Bali mengemban tugas satu lagi yang tak kalah berat yaitu ikut dalam tugas adat istiadat dan budaya.

Wanita Bali yang sudah menikah, otomatis menjadi banjar istri yang juga turun ngayah jika ada kegiatan keagamaan atau adat di banjarnya.

Itu wajib hukumnya. Sebab adat istiadat Bali memang demikian, dan telah berlaku turun-temurun.

Bayangkan berapa banyak wanita Bali, di era modern ini yang mengemban tugas sebanyak itu. 

Tentu harus diapresiasi, sebab mereka tak hanya bertaruh nyawa saat melahirkan. Tetapi kerap menjadi tulang punggung keluarga, yang notabene seharusnya dipegang pria.

Baca juga: Gender dalam Gender, Sanggar Suara Murti Tunjukan Kesetaraan Perempuan dan Laki-laki dalam PKB 2022

Makanya saya emosi melihat pria yang masih selingkuh, atau memperlakukan wanita demikian dengan tidak pantas.

Pria menikahi wanita saat matang, sudah jadi. Syukur-syukur sudah berpenghasilan dan sukses. Orang tuanya melahirkan si wanita, membesarkan sampai si anak tumbuh jadi gadis cantik. Jadi jagalah istrimu dengan baik dan benar. 

Kemudian di Bali, wanita yang telah menikah akan mepamit ke keluarga lajangnya. Bahkan di merajan atau leluhurnya si wanita juga pamit, untuk mengabdi di rumah si pria.

Suami yang dinikahinya dan diajak menghabiskan masa tua. Di rumah "bajang" si wanita tidak punya hak lagi.

Dan memang jarang wanita di Bali mendapatkan hak waris. Mungkin ada, itu keputusan orang tua dan keluarganya yang mungkin memang mapan dan mengerti.

Beberapa bahkan tak mau menyekolahkan anaknya, karena akan diambil orang lain. Miris.

Lalu di rumah si suami, tentu wanita ini tidak 100 persen memiliki hak. Kadang saat bertemu saudara ipar ataupun keluarga yang tidak terlalu well educated, jadinya di rumah kayak perang dunia terus.

Masalahnya jika bercerai, wanita ini tidak punya tempat yang jelas dan pasti untuk kelak menaruh Puspanya saat meninggal nanti setelah ngaben dan ngasti.

Sebab tak punya merajan, atau rong telu untuk meletakkan Puspa tersebut.

Kecuali keluarga bajangnya mau kembali menerimanya dengan rangkaian upacara. Dan itu tentu tidak bisa diterima semua orang.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved