Berita Buleleng
Petani Tolak Sapi Dipotong Bersayarat, Sebut Mulai Sehat Diberi Antibiotik dan Ramuan Tradisional
Petani Tolak Sapinya Dipotong Bersayarat Kondisi Mulai Sehat Setelah Diberi Antibiotik dan Ramuan Tradisional
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Harun Ar Rasyid
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Petani sapi yang ada di Kecamatan Gerokgak, Buleleng menolak hewan ternaknya dipotong bersyarat.
Petani justru mengklaim sapi-sapi mereka justru telah sembuh dari serangan Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). Hal ini lantas membuat Pemkab Buleleng kebingungan.
Pasalnya, pemerintah pusat memberikan batas waktu hingga Jumat (15/7) agar seluruh sapi yang terpapar PMK di Buleleng segera di potong bersyarat.

Pada Jumat 15 Juli 2022 Satgas Penanganan PMK Buleleng terpantau menggelar pertemuan dengan sejumlah petani sapi dari lima desa yang ada di Kecamatan Gerokgak.
Pertemuan yang digelar di gedung GOR Desa Pejarakan itu dipimpin oleh Ketua Satgas Penanganan PMK Buleleng yang juga sebagai Sekda Buleleng, Gede Suyasa.
Salah satu petani sapi bernama Gede Muliada mengatakan, ia memelihara 10 ekor sapi betina. Seluruhnya sempat mengalami gejala PMK. Namun kini sapi-sapinya itu telah sembuh, bahkan ada yang beranak secara normal. Sapi itu sembuh karena diberikan suntikan antibiotik hingga ramuan tradisional berupa campuran gula aren, telur bebek dan kunyit.
Untuk mendapatkan obat antibiotik, Muliada menyebut harus beli sendiri kepada doktet hewan, sebesar Rp 130 ribu per satu kali suntik. Sementara selama terkena PMK, per satu ekor sapi membutuhkan dua kali suntikan antibiotik.
Mengingat sapi-sapinya itu telah sembuh, Muliada pun menyatakan menolak untuk dipotong bersyarat. Bahkan, ia menyebut risiko kematian sapi akibat PMK sangat kecil. Sehingga ia mempertanyakan alasan pemerintah, mengapa mengambil keputusan melakukan pemotongan bersyarat.
"Apa urgensinya? Kalau memang PMK ini sangat berbahaya sampai mengakibatkan sapi mati, mungkin kami bersedia dipotong bersyarat, dari pada mati kena penyakit. Masalahnya kan semua sapi yang sempat mengalami gejala PMK nyatanya masih hidup semua. Kami berjuang menyembuhkan sapi-sapi kami dengan mengeluarkan biaya yang cukup besar sendiri," katanya di hadapan Satgas Penanganan PMK Buleleng.
Selain menolak dipotong bersyarat, Muliada juga menolak sapi-sapinya itu menjalani tes PCR. Sebab Muliada apabila di tes, maka hasilnya sebut Muliada akan tetap positif PMK. Pasalnya, penyakit tersebut akan tetap berada ditubuh sapi hingga dua tahun. "Kalau di tes pasti positif, karena PMK itu terus ada ditubuh sapi selama dua tahun meski sudah tidak bergejala,"
Selain Muliada, petani yang juga menolak sapinya di potong bersyarat adalah I Komang Adi Wirawan. Pria yang juga sebagai Perbekel Desa Tinga-Tinga, Kecamatan Gerokgak ini memiliki lima ekor sapi betina. Seluruh sapinya sempat mengalami gejala PMK berupa mulut berbusa dan hidung lecet, sekitar 20 hari yang lalu.
Sapinya itu juga langsung disuntikan obat antibiotik yang dibeli dari salah satu dokter hewan. Sementara kandangnya juga disemprot dengan cairan ecoenzim. Obat antibiotik itu rupanya mujarab. Seluruh sapinya sembuh, setelah tujuh hari diberi obat.
Wirawan pun menyatakan menolak jika sapi-sapinya harus dipotong bersyarat, kendati biaya ganti rugi yang diberikan oleh pemerintah lima kali lipat dari harga sapi di pasaran. Sebab ia menyebut, memelihara sapi induk bukan hanya untuk mencari keuntungan. Namun ia juga ingin menjaga populasi sapi.
"Sapi saya sampai bisa melahirkan, dan menyusui secara normal. Tidak ada yang mati. Artinya kan potensi untuk sembuh itu ada. Risiko kematiannya kecil. Total sapi yang terindikasi PMK di Tinga-Tinga ada tujuh ekor, semua sudah sembuh. Lain cerita kalau PMK ini tidak bisa disembuhkan, pemerintah tidak perlu memaksa kami untuk potong bersyarat. Kami yang akan melakukannya sendiri," ujarnya.
Sementara Sekda Buleleng, Gede Suyasa mengatakan, dari seluruh sapi yang terindikasi PMK di Bali, hanya di Buleleng lah yang hingga saat ini belum dipotong bersyarat. Total sapi yang sejatinya harus dipotong bersyarat sebanyak 240 ekor, tersebar di Desa Pejarakan, Sumberkima, Tinga-Tinga, Pengulon dan Gerokgak.