Berita Bali
Sosiolog UNUD Bali Soroti Fenomena Citayam Fashion Week: Muda-mudi Bermain Kode & Simbol
Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho menyoroti Citayam Fashion Week, ada beberapa dampak sosial yang bisa muncul
Penulis: Adrian Amurwonegoro | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sosiolog Universitas Udayana Bali, Wahyu Budi Nugroho menyoroti Citayam Fashion Week di Kawasan Sudirman Jakarta sebagai fenomena sosial "masyarakat tontonan"
Menurut Wahyu, setiap merk atau produk fashion selalu memuat kode atau simbol tertentu.
Kode atau simbol tersebut sengaja dibuat industri fashion agar seolah mampu merepresentasi atau mewakili karakter konsumennya.
Misalnya, ada merk-merk fashion tertentu yang menunjukkan superioritas, sehingga mereka yang memakainya pun merasa itu mewakili dirinya.
Baca juga: Anggrek Jadi Inspirasi Fashion Show Made Milo di Bali, Kreativitas Baru Corak Busana
Atau bisa juga mereka yang sebetulnya tak merasa superior, baru merasa superior setelah mengenakannya.
Contoh lain adalah kode atau simbol fashion yang menunjukkan kecantikan, kefemininan, kemaskulinan atau kemachoan, jiwa muda, keunikan, bahkan juga kode atau simbol fashion yang menunjukkan pemberontakan.
"Dalam hal ini, fashion memang sengaja diciptakan untuk menyuarakan karakter seseorang lewat penampilan, atau bisa juga membuat seseorang merasa menjadi demikian setelah menggunakannya," kata Wahyu kepada Tribun Bali, Minggu 17 Juli 2022.
Dengan kata lain, dia menyebut, kode-kode atau simbol fashion juga memiliki dimensi performativitas (kemampuan bertindak,-red).
"Dia bisa menyuarakan sesuatu, memberikan informasi tertentu, bahkan menunjukkan status dan derajat seseorang dalam dunia pergaulan. Hal-hal inilah yang kiranya terjadi di Citayam Fashion Week," tuturnya.
Dosen sekaligus penulis buku Sosiologi Kehidupan Sehari-hari ini menjelaskan, ada beberapa dampak sosial yang bisa muncul dari fenomena ini.
Pertama, munculnya “masyarakat tontonan”, yakni masyarakat, atau dalam hal ini muda-mudi Citayam yang saling mempertontonkan kode-kode atau simbol yang ditunjukkan satu sama lain lewat fashion yang mereka kenakan, dan ini bisa juga ditiru oleh muda-mudi di daerah lain.
"Secara sosiologis, fenomena “masyarakat tontonan” memang selalu berpotensi meluaskan skalanya, apalagi jika sudah diliput media massa," ujar dia.
Dalam fenomena “masyarakat tontonan”, muda-mudi di Citayam ini saling bertukar simbol, dan ketika muda-mudi lain ingin memasuki komunitas ini.
"Mereka pun juga harus memiliki simbol untuk dipertukarkan, konkritnya adalah dengan berpenampilan seperti muda-mudi di Citayam," ucapnya.
Kedua, adalah munculnya social distinction atau “jarak sosial” dengan muda-mudi lain.
Penggunaan kode-kode atau simbol tertentu dalam fashion berpotensi memunculkan definisi tentang apa yang dianggap keren dan tidak keren.
"Apa yang bagus dan tidak bagus, serta apa yang dianggap kekinian dan tidak kekinian di kalangan anak muda," jelasnya.
Lanjutnya, mereka yang dianggap tidak keren, tidak bagus, atau tidak kekinian bisa tereksklusi atau tersisihkan dari dunia pergaulan.
"Karena memang salah satu akibat dari fashion adalah menciptakan “struktur sosial semu” dalam dunia pergaulan," katanya.
Ketiga, konsumerisme, yakni ketika muda-mudi ini menghabiskan lebih banyak uang untuk penampilan daripada untuk hal-hal lain yang lebih produktif, semisal untuk pendidikan mereka, apalagi jika mereka sampai harus berhutang atau mengajukan kredit agar bisa berpenampilan seperti yang mereka inginkan.
"Idealnya, Citayam Fashion Week tak hanya sekadar menjadi ajang mempertontonkan atau menukarkan berbagai kode dan simbol di kalangan anak muda, tetapi juga bisa memupuk modal sosial di antara mereka," ujar Wahyu.
Modal sosial ini, kata dia, jika dikelola dengan baik, bisa disalurkan untuk hal-hal produktif, misalnya membuat proyek bersama yang berkaitan dengan media sosial.
Sehingga bisa memperoleh pemasukan dari media sosial, atau bisa juga dengan mengajukan proposal ke pihak-pihak tertentu guna menggelar kegiatan kepemudaan yang positif dan masih berkaitan dengan fashion.
Tak menutup kemungkinan pula, kegiatan ini menjelma menjadi festival mingguan dan menjadi sarana merintis kewirausahaan muda di kalangan muda-mudi.
Di sisi lain, festival ini juga bisa merangsang kegiatan ekonomi masyarakat sekitar, terlebih jika Citayam Fashion Week menjadi tujuan wisata baru bagi masyarakat luas.
"Tepatnya wisata fashion. Jika bisa demikian, maka tugas pemerintah setempat tinggal memfasilitasinya," pungkasnya. (*).
Kumpulan Artikel Bali