Berita Jembrana
Kisah Gatot Pengusaha Dupa di Jembrana, Bangkit Setelah Oleng Dihantam Covid-19
kisah Gatot Susanto, pengusaha dupa ini memproduksi kebutuhan orang Bali sehari-hari sejak 2003 di Jembrana.
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, NEGARA - Seorang pria paruh baya tampak sibuk menjemur dupa basah di lahan miliknya di Banjar Tegal Asih, Desa Batuagung, Jembrana, Bali, Selasa 13 September 2022.
Pria bernama Gatot Susanto itu merupakan pengusaha dupa yang sudah memproduksi kebutuhan orang Bali sehari-hari sejak 2003 di Jembrana.
Dalam sehari, ia bisa memproduksi 1,5 kwintal dupa basah.
Namun begitu, produksi 1,5 kwintal dupa basah ini merupakan hasil penyusutan tenaga kerja dan daya beli masyarakat karena dampak Covid-19.
Baca juga: ISI Denpasar Garap Lord Siva Saves The Universe, Angkat Kisah Dewa Siwa Selamatkan Alam Semesta
Sebelumnya, ia bersama karyawannya bisa memproduksi hingga 3 kwintal dalam sehari.
Penyusutan jumlah karyawan menjadi penyebab menurunkan kuantitas produksi saat ini.
Jika dulunya diproduksi oleh 19 orang, pasca Covid-19 hanya menjadi 9 orang saja.
Pria berusia 52 tahun itu menuturkan, ia memulai menjadi pengusaha dupa sejak 2002.
Saat itu, ia mencoba menjadi karyawan di sebuah pabrik dupa di Denpasar.
Namun, karena banyak tawaran dari temannya, ia lantas memberanikan diri untuk terjun langsung sebagai pengusaha dupa di Jembrana.
"Sempat satu setengah tahun di Denpasar. Kemudian sekitar tahun 2003 itu saya mulai ke Jembrana untuk membuat usaha pembuatan atau produksi dupa ini," tutur Gatot.
Dia melanjutkan, usaha yang dirintis bersama keluarganya itu akhirnya berjalan sesuai rencana.
Bahkan ia mengaku sempat memberikan ilmu usaha dupa ke sejumlah perusahaan dupa yang berdiri kokoh hingga saat ini di Jembrana.
Ia merasa bangga, karena dapat berbagi ilmu yang akhirnya bisa membantu orang lain.
Kemudian, kata dia, untuk produksi dilakukan di lahannya sendiri sejak dahulu.
Dalam sehari, ia bersama karyawan lainnya berhasil memproduksi hingga 3 kwintal sehari.
Namun, karena kondisi Covid-19, ia terpaksa mengurangi jumlah produksi karena kekurangan tenaga kerja.
Selain itu, daya beli masyarakat pasca dihantam pandemi juga sangat jauh menurun.
"Untuk pemasaran kita di Jembrana saja sama di Seririt, Buleleng. Selama ini masih aman. Cuma kemarin awal Covid itu susah sekali jualan," ungkapnya.
Pada usaha keluarga ini, kata dia, dupa yang ia produksi memiliki banyak aroma.
Diantaranya aroma cendana, jasmine, budak wangi, hingga aroma tulip.
Setelah memiliki aroma, dupa tersebut kemudian dibungkus dengan plastik berbagai ukuran.
Harganya Rp 1.000 hingga Rp 20.000 per bungkusnya.
Namun, selama ini ia hanya menjual dalam bentuk global (bal) ke tingkat toko yang kemudian diteruskan ke pengecer.
"Kalau aroma tergantung permintaan. Jika misalnya aroma cendana paling banyak diminati, kita garap dupa dengan aroma tersebut. Begitu juga seterusnya," tandasnya. (made prasetia aryawan).
Kumpulan Artikel Jembrana