HIV dan AIDS di Bali

Di Bali Masih Banyak Stigma HIV/AIDS, Siswa ODHA Tak Boleh Sekolah

saat ini di Bali masuk katagori epidemi terkonsentrasi HIV/AIDS, di mana estimasi ODHA saat ini sebanyak 31.686 orang

suryamalang
ILUSTRASI- Di Bali Masih Banyak Stigma HIV/AIDS, Siswa ODHA Tak Boleh Sekolah 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Dr dr I Nyoman Gede Anom MKes menyebutkan, saat ini di Bali masuk katagori epidemi terkonsentrasi HIV/AIDS, di mana estimasi ODHA saat ini sebanyak 31.686 orang (berdasarkan data hingga Maret 2022).

Mirisnya, masih banyak stigma yang merugikan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (ODHA).

Relawan Jalak Bali sebagai pendamping pasien ODHA, I Made Suarnayasa menuturkan, masih banyak stigma buruk terhadap orang dengan HIV/AIDS di Jembrana, bahkan seluruh dunia.

Bahkan, diskriminasi terhadap pasien ini masih sering ditemui di kalangan masyarakat, meskipun tak separah dulu.

Baca juga: Kasus HIV/AIDS di Tabanan Bali Meningkat, Begini Alasannya!

Pria yang akrab disapa Dek No ini melanjutkan, umumnya saat ini diskriminasi tersebut masih secara verbal.

Bahkan, ada kejadian seorang anak ditolak sekolah karena mengetahui orangtua (ayah ibunya) adalah ODHA.

Beruntungnya, ia bersama relawan Jalak Bali melakukan advokasi ke pihak sekolah untuk menerangkan bahwa HIV/AIDS itu tidak seseram yang dikira dan penularannya tidak semudah yang dibayangkan.

"Anaknya tidak diperbolehkan sekolah. Bagi kami, mereka yang lakukan diskriminasi itu wajar karena tidak tahu informasi mengenai cara penyebaran HIV. Intinya, jangan jauhi orangnya, tapi jauhi penyakitnya," tegasnya di Jembrana, Kamis 1 Desember 2022.

Dia mengakui, untuk mengantisipasi hal serupa terjadi, pihaknya telah berupaya masuk ke ranah desa adat guna melakukan sosialisasi.

Biasanya, pihaknya lebih menekankan ke masyarakat yang tak perlu resah berlebihan terhadap ODHA.

Selain cara penularannya yang tak mudah, saat ini ODHA juga tidak perlu takut berlebihan karena sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang diberikan gratis oleh pemerintah.

"Kami berupaya untuk melakukan edukasi bahwa HIV tidak seseram yang mereka bayangkan. Kemudian mereka ODHA ini sudah diberikan obat. Intinya mau berobat saja," tandasnya.

Di Jembrana, jumlah ODHA ada 768 orang dalam kurun waktu 8 tahun terakhir. Setiap bulannya, tercatat ada 7-10 kasus.

Namun, dari jumlah tersebut hanya separuhnya yang menjalani pengobatan aktif.

Mereka dominan berusia produktif bahkan ada juga yang tertular dari orangtuanya.

Menurut data yang berhasil diperoleh, dari total jumlah penderita, hanya 449 orang yang masih aktif mengkonsumsi ARV.

Bahkan, dari jumlah itu tercatat 28 anak dan 10 ibu hamil terkonfirmasi positif.

Sisanya, ada yang menolak didata, pindah, rujukan ke daerah lain, hingga meninggal dunia.

Case Manager Klinik VCT RSU Negara, dr Ni Putu Sri Wardani menjelaskan, rata-rata temuan kasus setiap bulannya di angka 7-10 orang.

Namun, khusus untuk November 2022 ada penambahan 15 orang. Bahkan, ada 2 anak dan 3 ibu hamil terkonfirmasi positif.

Jika secara total, sejak Januari-November tercatat ada 78 orang.

"Jika keseluruhan hampir mencapai 800 orang pasien ODHA lebih di Jembrana. Rata-rata temuan tiap bulannya 7-10 orang. Tapi di November ini ada 15 orang. Itu setiap akhir tahun selalu meningkat," jelas dr Sri Wardani saat memberikan keterangan usai acara peringatan Hari AIDS di Desa Kaliakah, Kecamatan Negara, Kamis.

Dia menyebutkan, dari total pasien ODHA, hanya separuhnya atau sekitar 400-an orang yang menjalani pengobatan aktif.

Penyebabnya banyak faktor, seperti memang belum mau berobat, pindah wilayah berobat, hingga ada yang sudah meninggal dunia.

Memperingati Hari AIDS Sedunia 1 Desember, puluhan siswa SD dan SMP di Jembrana menggelar aksi damai dengan memberikan bunga mawar serta brosur kepada setiap pengendara di Traffic Light Makam Pahlawan, Jembrana, Kamis.

Selain itu, pelajar ini juga tampak berorasi mengenai bahaya penyakit yang sebagian besar disebabkan oleh seks bebas ini.

Koordinator aksi, Ida Bagus Kompyang menuturkan, kegiatan yang dilakukan puluhan pelajar ini sebagai bentuk peduli terhadap masyarakat tentang bahaya HIV/AIDS.

Mereka yang tergabung dalam kelompok siswa peduli AIDS dan narkotika (KSPAN) ini berupaya mengedukasi masyarakat, khususnya di Jembrana bersama-sama untuk mencegah penyebaran HIV.

"Jadi tidak hanya siswa saja, kita juga bersinergi dengan Dinas Kesehatan dan pihak kepolisian," kata pria yang menjadi guru pembina KSPAN di salah satu sekolah ini.

Kompyang mengharapkan, dengan kegiatan ini apa yang disampaikan oleh para pelajar ini bisa menjadi renungan untuk masyarakat.

"Harapan kita tentu agar masyarakat luas lebih care atau peduli lagi tentang bahaya penyakit ini," harapnya.

Seorang pelajar, Septia (14) menyebutkan, kegiatan ini murni sebagai bentuk kepedulian siswa terhadap lingkungan sekitar.

Edukasi dan pemahaman tentang HIV/AIDS dirasa sangat penting diketahui sejak dini.

"Kami harap ini bisa mendapat mengedukasi masyarakat bagaimana bahayanya penyakit HIV/AIDS serta bahayanya narkotika yang dapat menghancurkan masa depan," harapnya.

Di Denpasar, perwakilan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) setempat, Yanthi mengatakan, KPA Denpasar mencatat tahun ini di layanan kesehatan menangani 14.500 kasus HIV/AIDS yang didominasi kasus usia produktif usia 15-59 tahun dengan persentase 95 persen.

“Untuk faktor risiko heteroseksual 72 persen, homoseksual 19 persen, narkoba suntik 4 persen dan ibu ke anak juga cukup tinggi, lelaki seks dengan lelaki juga meningkat cukup signifikan,” ujar dia.

Di Tabanan, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan setempat, dr Ketut Nariana mengatakan, kasus HIV/AIDS meningkat tajam.

Pada 2021 yang hanya ditemukan 9 kasus, kini di 2022, meningkat menjadi 24 kasus. 24 kasus ini tercatat awal Januari 2022 hingga Oktober 2022.

Informasi yang dihimpun, mulai 2018 lalu, Dinas Kesehatan Tabanan menemukan 47 kasus HIV dan AIDS 61 kasus.

Kemudian, di 2019 ditemukan 45 kasus HIV dan 53 kasus AIDS.

Pada 2020, ditemukan 43 kasus HIV dan 40 kasus AIDS. Pada 2021 ada 53 kasus HIV dan 9 kasus AIDS.

Pada 2022, hingga Oktober 2022 AIDS meningkat tajam menjadi 24 kasus dan HIV 45 kasus.

Nah, untuk kasus 2022 sendiri rentang kasus usia antara 5 tahun sampai 60 tahun.

Terbanyak adalah usia 20 tahun sampai 59 tahun.

Dan faktor jangkitan HIV/AIDS adalah hubungan heteroseksual, tato dan perinatal.

Menurutnya, faktor peningkatan kasus adalah karena orang yang terjangkit kurang disiplin minum obat.

Pihaknya pun, sudah memberikan pelayanan dan imbauan maksimal.

Kasus AIDS meningkat karena kasus HIV berubah stadiumnya menjadi AIDS.

Di Klungkung, Kepala Dinas Kesehatan setempat, dr Ni Made Adi Swapatni mengatakan, sepanjang 2022, terdata 39 kasus baru HIV/AIDS.

Bahkan 6 kasus diantaranya, diderita oleh remaja dengan rentang usia 20-24 tahun, 28 orang berusia 25-49 tahun, dan 5 orang berusia lebih dari 50 tahun.

Secara keseluruhan, ODHA di Klungkung tahun 2018-2022 ada 224 orang.

Sekretaris KPA Klungkung I Wayan Sumanaya menjelaskan, kasus baru HIV/AIDS biasanya ditemukan saat adanya warga yang datang konseling di Puskesmas.

Menurutnya, ODHA biasanya baru menunjukkan gejala setelah 5 tahun terinfeksi.

Itu pun masih ada ODHA yang sengaja menutup diri, sehingga belum terdata.

"Tidak menutup kemungkinan, angka ODHA di Klungkung lebih dari yang terdata saat ini," katanya.

Di Bangli, Kepala Dinas Kesehatan setempat, I Nyoman Arsana, mengatakan, ibu hamil wajib menjalani serangkaian pemeriksaan, salah satunya pemeriksaan HIV/AIDS.

Dari pemeriksaan yang dilakukan sejak awal 2022, tercatat dua orang dari 2.311 ibu hamil reaktif HIV.

Pihaknya menjelaskan, ibu hamil memiliki risiko melahirkan anak dengan beberapa penyakit bawaan.

Oleh sebab itu ada program nasional untuk pemeriksaan beberapa penyakit, di antaranya sipilis, HIV/AIDS, hingga hepatitis.

Terkait pemeriksaan HIV/AIDS pada ibu hamil, lanjut Arsana, tujuannya untuk mencegah munculnya orang dengan HIV/AIDS (ODHA) baru.

Kadis menambahkan, kasus HIV/AIDS ini bagaikan fenomena gunung es.

Pihaknya mensinyalir ada lebih dari 18 pasien yang aktif memeriksakan diri ke RSU Bangli.

Maka dari itu pihaknya menyarankan pada masyarakat yang merasa berisiko, agar datang ke pelayanan kesehatan. (mpa/ian/ang/mit/mer)

Perlu Dukungan Finansial

INDONESIA AIDS Coalition (IAC) mendorong Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) di Bali untuk mengambil ancang-ancang melakukan pendekatan kemitraan dengan pemerintah agar bisa mengakses dana Swakelola Tipe 3 yang menjadi peluang bagus dari sisi anggaran melalui keikutsertaan Musrenbang 2023.

IAC menyediakan dukungan finansial dan menempatkan 1 orang tenaga teknis atau technical officer (TO) di 6 kota prioritas di Indonesia, termasuk di Denpasar yang tupoksinya mempercepat terwujudnya kemitraan OMS dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Denpasar dalam berbagai program pembangunan.

Satu tahun yang lalu pemerintah mengubah Peraturan Presiden (Perpres) No 16/2018 menjadi Perpres No 12/2021 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ).

Perpres tersebut kemudian dibuat turunannya oleh lembaga pengadaan barang dan jasa pemerintah (LKPP) dengan peraturan LKPP No 3/2021 yang memberikan ruang bagi OMS terlibat dalam proses pembangunan dengan memperbolehkan menggunakan dana pemerintah melalui skema Swakelola Tipe 3.

Selama kurun waktu, sejumlah OMS di Denpasar, Bali beroperasi dari funding atau pendaan pihak asing, seperti beberapa OMS/Yayasan/Lembaga yang bergerak dalam program penanggulangan AIDS.

Di tingkat akar rumput banyak organisasi masyarakat sipil bekerja dengan mengandalkan bantuan donasi dana asing.

Pendanaan domesitik dari APBD belum begitu signifikan jika dibandingkan dengan besaran masalah yang timbul.

Hal inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam media gathering yang diselenggarakan oleh IAC dengan menghadirkan narasumber berkompeten dari Bappeda, Dinas Kesehatan, KPA Kota Denpasar, Lembaga peserta seperti YGD, YSP, FPA Bali, IAC dan sejumlah jurnalis melalui diskusi di Artotel Sanur Denpasar, Kamis 1 Desember 2022.

“Alasan yang sering dikemukan adalah kemampuan keuangan daerah untuk program HIV/AIDS sangat terbatas karena terserap oleh program prioritas lainnya. Kalaupun tersedia dana domestik, tapi OMS tidak bisa mengaksesnya karena terbentur belum adanya peraturan yang memberi ruang pelibatan OMS dalam pembangunan, termasuk dalam program HIV/AIDS,” papar Perwakilan Pihak IAC yang juga selaku fasilitator media gathering, Made Suprapta.

“Situasi ini berlangsung bertahun-tahun, meskipun diketahui bahwa kontribusi OMS dalam pengentasan HIV/AIDS sangat signifikan. Hal ini sangat dipahami pemerintah tingkat pusat,” sambungnya.

Ketua Yayasan Spirit Paramacitta, Putu Utami menyampaikan, pendanaan program penanggulangan HIV/AIDS di Bali di awal penemuan kasusnya pada 1987 sampai sekitar tahun 2013 hampir 95 persen didanai oleh donor asing seperti USAID dan AusAID melalui skema G to G.

Setelah tahun 2013 pendanaan donor asing secara nasional hanya menyisakan dukungan dari The Global Fund, membiayai kombinasi pencegahan AIDS, Tuberkulosis dan Malaria yang sering disingkat GFATM.

“Dana donator luar negeri menurun, pemerintah sudah seharusnya terdorong mengambil alih beban pendanaan tersebut sebab masalah HIV/AIDS sampai saat ini belum bisa dikatakan tuntas apalagi target eliminasi 95-95-95 ditetapkan tahun 2030 sudah begitu dekat,” jelasnya.

Perwakilan Bappeda Kota Denpasar, AA Mahendra menyebut, dalam perkembangannya, proses pendanaan skema Swakelola Tipe 3 yang tengah bergulir di Pemkot Denpasar untuk anggaran tahun 2023.

“Sudah melibatkan dua OMS yaitu Yayasan Gaya Dewata (YGD) dan Yayasan Spirit Paramacitta (YSP) yang siap mengikuti siklus Musrenbang tahun 2023 untuk penganggaran kegiatan tahun 2024. Swakelola ini dibuka untuk Ormas yang punya kepentingan, ada pintu masuk untuk respons peraturan ini, bukan hanya HIV, namun Ormas lain sesuai persyaratan,” jelas Mahendra.

Perwakilan Dinas Kesehatan Kota Denpasar, AA Gede Dharmayudha optimistis anggaran tersebut dapat terserap dengan baik, salah satunya untuk kegiatan-kegiatan OMS dalam kaitannya untuk menurunkan risiko HIV/AIDS dan mengapus stigma serta diskriminasi di masyarakat.

Sebab, kata dia dengan menekan stigma dan diksriminasi bisa mempercepat pengobatan orang-orang dengan HIV/AIDS untuk pulih dan bisa beraktivitas normal di tengah-tengah masyarakat.

“Dana serapan anggaran, 60 persen untuk operasional, kalau bicara kegiatan sangat banyak kegiatan, jadi melalui dana Swakelola tipe 3 ini dana pemerintah bisa diakses OMS dengan mengajukan proposal masuk ke agenda Musrenbang diproses diterima sebagai program pemerintah dan OSM menjadi eksekutornya,” kata Gede Dharmayudha. (ian)

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved