Berita Bali

Capai Rp 1,2 Miliar, Opsi Menakjubkan Biaya Tinggi SPI Unud yang Harus Dibayarkan Mahasiswa

Dalam kegiatan ini mereka menyampaikan, ada enam tuntutan kepada jajaran rektorat dan Dekanat Unud.

pexels
Ilustrasi - Opsi tertinggi pilihan SPI di Universitas Udayana adalah grade 8 di Fakultas Kedokteran Jurusan Pendidikan Dokter dengan nominal Rp 1,2 miliar. 

TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Badan Eksekutif Mahasiswa Pemerintahan Mahasiswa (BEM PM) Universitas Udayana, menggelar audiensi sidang rakyat Udayana dengan pihak rektorat dan dekanat, Rabu 15 Maret 2023.

Dalam kegiatan ini mereka menyampaikan, ada enam tuntutan kepada jajaran rektorat dan Dekanat Unud.

Pertama terkait fasilitas di kampus Unud, yang dinilai belum siap serta memadai.

Kedua menuntut kualitas dan kuantitas tenaga pendidik ditingkatkan, lalu transparansi atau mekanisme SPI.

Kemudian menuntut rektor untuk memberikan klarifikasi langsung, mengenai penetapannya sebagai tersangka.

Serta mendorong Kejati Bali mengusut tuntas kasus dugaan korupsi SPI Unud ini.

Baca juga: Konsolidasi Akbar Mahasiswa Unud, Minta Usut Tuntas Oknum yang Terlibat Penyalahgunaan Dana SPI

Baca juga: Rektor Unud Belum Ditahan! Penyidik Pidsus Kejati Bali Ajukan Pencekalan

Suasana Konsolidasi Akbar di Univeristas Udayana. Bahas soal SPI dan penetapan Rektor Unud sebagai tersangka.
Suasana Konsolidasi Akbar di Univeristas Udayana. Bahas soal SPI dan penetapan Rektor Unud sebagai tersangka. (Ida Bagus Putu Mahendra/Tribun Bali)

Enam tuntutan tersebut, disampaikan Ketua BEM PM Unud, I Putu Bagus Padmanegara seusai kegiatan audiensi.

Bagus menambahkan, pihaknya akan mengawal semua poin tuntutan tersebut terlebih hingga perubahan mekanisme SPI.

Ia pun mengapresiasi rektorat yang telah mau menerima langsung audiensi mereka, hari ini di Auditorium Widya Sabha.

Di mana pada pertemuan itu BEM PM Unud membawa dan menyampaikan aspirasi langsung hasil kajian dari masing-masing fakultas di hadapan jajaran Rektorat Unud.

Mengenai penetapan tersangka Rektor Unud pada kasus dugaan korupsi SPI, Bagus mengatakan pihaknya tetap mengedepankan asas praduga tak bersalah tetapi jika nantinya benar-benar terbukti.

BEM PM Unud menjadi yang pertama sebagai pihak meminta Rektor Unud dimiskinkan dan dipenjarakan.

“Tetapi sekali lagi itu (dimiskinkan dan dipenjarakan) kita menunggu bukti/bukti tapi sampai hari ini kita ke depankan asas praduga tak bersalah,” imbuhnya.

Dengan adanya kasus korupsi terhadap dana SPI yang melibatkan Rektor Unud dan 3 pejabat Unud lainnya, menunjukkan bahwa keputusan untuk menetapkan SPI pada Universitas Udayana merupakan keputusan yang kurang tepat.

Suasana audiensi sidang rakyat Udayana dengan pihak Rektorat dan Dekanat yang berlangsung di Auditorium Widya Sabha kampus Unud Jimbaran.
Suasana audiensi sidang rakyat Udayana dengan pihak Rektorat dan Dekanat yang berlangsung di Auditorium Widya Sabha kampus Unud Jimbaran. (Tribun Bali/Zaenal Nur Arifin)

“Keputusan yang kurang tepat untuk menetapkan adanya SPI ini, menunjukkan bahwa sistem SPI ini cacat dan hanya akan merugikan bagi mahasiswa karena pada nyatanya SPI yang tujuannya akan digunakan untuk mendukung pendidikan mahasiswa.

Namun nyatanya tidak dapat dirasakan oleh para mahasiswa, dan tidak digunakan untuk mendukung pendidikan mahasiswa, khususnya terhadap fasilitas kampus yang disediakan untuk mengenyam pendidikan yang pada hal ini dibuktikan dengan keadaan kampus yang masih dalam kondisi yang kurang layak, dan belum cukup untuk menampung mahasiswa dengan jumlah yang banyak,” paparnya.

Universitas Udayana sebagai kampus terbesar dan tertua di Bali, sepatutnya menjadi contoh bagi universitas lain dalam pengelolaan dan pengalokasian dana kampus.

Akan tetapi, kasus korupsi SPI yang terjadi menjadi bukti konkret atas ketidakmampuan pihak kampus, dalam menerapkan transparansi pada pengelolaan dana SPI guna mengoptimalkan proses pembelajaran.

Melihat besaran SPI yang dibayarkan setiap mahasiswa jalur mandiri, mahasiswa semestinya memiliki hak untuk menuntut dan mendapatkan hal-hal yang seharusnya menjadi haknya selama menjalani perkuliahan di Universitas Udayana.

Pihak universitas, seharusnya memberikan feedback kepada seluruh mahasiswanya berupa penyediaan fasilitas yang layak dan memadai serta berfungsi dengan baik.

Selain itu, dengan jumlah pendapatan SPI yang besar setiap tahunnya pihak universitas dapat merenovasi kerusakan yang ada di setiap fakultas guna mendukung proses perkuliahan.

SPI adalah contoh spesifik dari praktik komersialisasi pendidikan, yang memperdalam kesenjangan akses kepada ketimpangan pendidikan.

Selain itu, nominal SPI yang tidak adil dan tidak seimbang memungkinkan sebagian besar siswa kelas menengah ke atas untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi melalui jalur mandiri.

Hal ini menunjukkan, bahwa pendidikan bukan lagi hak warga negara yang dijamin secara konstitusional melainkan barang dagangan yang hanya dapat diakses oleh orang mampu.

 Prof Antara diwawancarai oleh awak media usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan SPI mandiri Unud di Kejati Bali.
 Prof Antara diwawancarai oleh awak media usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi kasus dugaan SPI mandiri Unud di Kejati Bali. (Putu Candra/Tribun Bali)

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud 25 Tahun 2020 tentang SSBOPTN yang telah memvonis praktik komersialisasi pendidikan dengan dalih sumbangan pembangunan kelembagaan, keduanya perlu dievaluasi secara menyeluruh.

Universitas Udayana menetapkan bahwa calon mahasiswa, harus mengisi nominal SPI sebelum ujian atau pengumuman kelulusan.

Akibatnya, mahasiswa otomatis mengalami tekanan mental karena mereka mulai memperhitungkan bahwa semakin tingginya nominal pembayaran SPI, semakin tinggi peluang kelulusan seleksi.

Jadi, masuk akal untuk berasumsi bahwa memilih nominal SPI yang lebih besar akan meningkatkan kemungkinan lolos seleksi mandiri.

Hal seperti ini tentu sangat memberatkan mahasiswa yang memiliki ekonomi lemah, yang memiliki keinginan dan cita-cita tinggi untuk meneruskan pendidikan di Universitas Udayana melalui seleksi jalur mandiri.

Dalam Permendikbud 25 Tahun 2020 Pasal 10 menyebutkan secara jelas bahwa “PTN dilarang menggunakan iuran pengembangan institusi sebagai pungutan yang menjadi dasar dalam penentuan penerimaan atau kelulusan Mahasiswa”.

Dalam praktik seleksi jalur mandiri Universitas Udayana jelas telah melanggar peraturan yang telah ditetapkan.

Terkait dengan Pasal 76 ayat (3) UU Nomor 12 Tahun 20212 tentang Pendidikan Tinggi yang pada intinya menyatakan bahwa pembayaran yang ikut ditanggung oleh mahasiswa, untuk membiayai studinya disesuaikan dengan kemampuan mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.

Dengan pelaksanaan SPI yang tidak jelas alurnya kemana dan dijadikannya rektor serta 3 pejabat sebagai tersangka korupsi, maka diperlukan adanya transparansi mengenai SPI ini.

Kurangnya transparansi dari Universitas Udayana, semakin membuktikan cacatnya sistem SPI dan merusak nama Universitas Udayana.

Tidak ada transparansi yang jelas mengenai pengelolaan anggaran Sumbangan Pengembangan Institusi di Universitas Udayana.

Sehingga mahasiswa dan masyarakat tidak mengetahui dengan pasti mengenai jumlah penerimaan, pengelolaan hingga dampak yang dihasilkan dengan adanya SPI.

Fasilitas dan infrastruktur kampus yang kurang memadai menjadi tanda tanya untuk pihak kampus, kemana jatuhnya uang SPI tersebut.

Nominal SPI yang dari tahun ke tahun semakin besar, namun perbaikan belum juga kunjung membaik.

Mahasiswa dituntut untuk membayar kewajibannya, namun pihak kampus seakan-akan lupa dengan kewajibannya sendiri untuk memberikan hak-hak yang seharusnya didapatkan oleh mahasiswa.

Hal ini tentunya juga menjadi peluang yang besar untuk korupsi atau penyalahgunaan dana SPI seperti yang terjadi sekarang.

Dikarenakan tidak ada mekanisme pengawasan publik yang jelas terhadap pengelolaan dana SPI. Padahal UU No

12 Tahun 2012 tentang pendidikan tinggi pasal 63 mengamanatkan bahwa otonomi pengelolaan Perguruan Tinggi dilaksanakan berdasarkan prinsip akuntabilitas dan transparansi.

Opsi tertinggi pilihan SPI di Universitas Udayana adalah grade 8 di Fakultas Kedokteran Jurusan Pendidikan Dokter dengan nominal Rp 1,2 miliar.

Ditambah nominal- nominal SPI di fakultas lain yang juga tidak kalah besarnya sehingga sangat memberatkan mahasiswa.

Berbanding terbalik dengan universitas lain, Universitas Udayana memberikan nominal yang jauh lebih besar dibandingkan dengan universitas lain, seperti Universitas Diponegoro yang opsi tertingginya ada di Fakultas Kedokteran jurusan Kedokteran dengan nominal Rp 250 juta.

Dengan perbedaan nominal yang signifikan antara Universitas Udayana, dengan universitas lain di Indonesia, menunjukkan bahwa seleksi jalur mandiri Universitas Udayana menjadi bukti nyata bahwa pendidikan dijadikan ajang bisnis oleh kaum kapitalis dan mirisnya hanya dapat dinikmati oleh orang-orang yang kaya saja.

Sehingga, perlu ada evaluasi secara total terhadap regulasi hukum dalam hal ini UU No 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Permendikbud 25 tahun 2020 tentang SSBOPTN yang telah legalisasi praktik komersialisasi pendidikan yang berkedok sumbangan pengembangan institusi.

Praktik komersialisasi pendidikan yang terjadi di universitas Udayana dalam hal ini bertentangan dengan Pasal 73 ayat (5) UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang yang berbunyi “ Penerimaan Mahasiswa baru Perguruan Tinggi merupakan seleksi akademis dan dilarang dikaitkan dengan tujuan komersialisasi”.

Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana Nomor 476/UN14/HK/2022 Tentang SPI terungkap fakta bahwa pengadaan SPI bagi mahasiswa baru jalur mandiri tidak dibebankan bagi seluruh program studi yang ada di Universitas Udayana.

Beberapa program studi yang tidak dibebankan dana SPI, yakni D3 Perpustakaan dari FISIP, D3 Akuntansi dan D3 Perpajakan dari FEB, Sastra Indonesia, Sastra Bali, Sastra Jawa Kuno, Arkeologi, Ilmu Sejarah, dan Antropologi Budaya dari FIB.

Tentu saja dengan adanya beberapa program studi yang tidak membebankan SPI bagi mahasiswa baru jalur mandiri menimbulkan stigma bagi para mahasiswa bahwa adanya diskriminasi dalam Pendidikan serta tidak adanya keadilan yang didapatkan untuk mendapatkan pendidikan.(*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved