Berita Bali
Sudah Ada Sejak Dulu, Pengamat Pariwisata Himbau Pengkajian & Penilaian Utuh Terhadap Kampung Turis
Sudah Ada Sejak Dulu, Pengamat Pariwisata Himbau Pengkajian & Penilaian Utuh Terhadap Kampung Turis
Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Fenty Lilian Ariani
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Keberadaan kampung turis yang kini sedang viral di media sosial dan mendapat atensi pemerintah perlu dikaji kembali.
Pemerintah dan pihak berwenang perlu mengetahui keberadaan kampung turis yang hanya sebatas penyebutan bagi komunitas atau memiliki tujuan lainnya.
Hal ini dikatakan oleh Dr. I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda, S.ST.Par., M.M., M.Par selaku pengamat pariwisata.
Gus Mananda mengatakan keberadaan kampung turis keberadaan kampung turis sebagai komunitas sama seperti penyebutan kampung Bali di luar wilayah Provinsi Bali.
Keberadaannya harus dilihat secara utuh dan bukan hanya sepaham-sepaham, termasuk dari aspek holistiknya.
Seperti yang diketahui pula dalam aturan bagi para tamu yang datang ke Bali tidak berhak memiliki lahan, tetapi hanya dapat menyewa.
Oleh karena itu, aktivitas para tamu sendiri pastinya dapat diketahui oleh pemilik lahan dan Klian atau mereka yang memberikan izin tinggal.
“Kampung turis itu sebenarnya bisa dipertanyakan kepada mereka yang memberikan izin.
Kalau mereka mengatasnamakan dengan Kampung, harus diketahui sejauh mana keterlibatan mereka dan pengaruhnya terhadap budaya, perekonomian, dan lingkungan,” kata I Gusti Putu Bagus Sasrawan Mananda saat dihubungi oleh Tribun Bali.
Dosen Universitas Udayana ini menuturkan keberadaan dari kampung turis ini sebenarnya sudah banyak dan sudah ada sejak dulu.
Seperti di Penestanan, Ubud, Bali dan beberapa daerah lainnya yang membentuk koloni sendiri atau kampung-kampung tersendiri dengan menempati villa yang dimiliki oleh orang lokal.
Tentunya penempatannya dalam jangka waktu yang lama sehingga dapat dilihat bahwa pemilik lahan pasti mengetahui keberadaan dari kampung tersebut namun mungkin membiarkannya.
Banyak orang yang sejatinya tidak mengetahui keberadaan kampung turis sampai akhirnya viral di media sosial sehingga menjadi suatu hal yang “wah”.
Sebagai pelaku pariwisata, Gus Mananda sangat mengetahui yang terjadi di lapangan, tetapi sejauh tamu tidak merusak norma-norma atau aturan-aturan yang berlaku di Republik Indonesia, ia berpikir itu akan baik-baik saja.
Lelaki yang juga merupakan praktisi pariwisata ini menceritakan selama ini ia melihat keberadaan kampung turis memberikan dampak yang positif.
Para tamu cenderung melakukan kegiatan spiritual atau kegiatan lainnya seperti peduli terhadap lingkungan.
Tetapi, apabila saat ini mungkin terjadi perubahan paradigma dari kampung turis yang sudah mengambil peran dari orang lokal dan melewati batas waktu tinggal, tentu saja Ini yang akan menjadi masalah dan harus ditindaklanjuti.
“Kalau mereka sudah mulai jualan villa sendiri mulai melakukan kegiatan yang membuat kampung itu sebagai unit bisnis atau unit perekonomian itu yang harus ditindaklanjuti,” tambahnya.
Informasi terkait dengan kampung turis tidak boleh semata-mata dipandang sebagai hal yang negatif karena di Bali pun ada yang namanya Kampung Jawa dan lainnya.
Oleh karena itu, perlu dilakukan riset pendekatan sosialisasi kepada para wisatawan sehingga tidak menjadi polemik di masyarakat.
Sama seperti guide, ia mengaku heran hal itu tiba-tiba baru diributkan sekarang padahal sudah ada sejak dulu.
Viral marketing yang terjadi sangat membantunya untuk merubah suatu hal yang sebelumnya tidak sesuai dengan aturan menjadi sesuai.
“Ya saya heran juga kenapa baru ribut (soal guide), apakah karena jatahnya diambil atau yang lainnya?
Kalau kita di dunia industri, kita sudah memahami hal itu dan itu memang sudah beberapa kali kita laporkan tetapi belum ada tindak lanjut yang nyata,” ujarnya.
Gus Mananda pernah melaporkan terkait dengan guide kepada pihak imigrasi, tetapi ujung-ujungnya mereka berdamai sehingga tidak memberikan efek jera kepada wisatawan.
Viral marketing ini pun sangat membantu untuk intropeksi dan saling mengawasi perkembangan kampung turis atau peran bule yang mengambil peran masyarakat di Bali.
Pengawasan ini perlu peran serta dari seluruh pihak, mulai dari lapisan bawah hingga atas untuk dapat berubah menjadi lebih baik.
Misalnya pemerintah dapat melakukan pendekatan kepada wisatawan karena wisatawan juga adalah manusia yang tentunya akan mengerti apabila diberikan edukasi.
Pemerintah juga perlu melalukan riset persenan wisatawan “nakal” yang ada di Bali dan apabila hanya di bawah 10 persen itu harus ada pengkajian lagi.
Jangan sampai penilaian wisatawan dilakukan secara sepihak dan memberikan asumsi atau stereotipe kepada para wisatawan.
Sebagai pengajar kelas internasional Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, mahasiswa Gus Mananda memiliki perilaku sikap yang baik selama berada di Bali.
Justru mereka sangat menyayangkan kasus yang dibuat oleh wisatawan yang akhirnya akibat membuat nama mereka ikut tercoreng.
Selain kajian perlu juga adanya master plan terhadap pemerintahan yang jelas terkait dengan dunia pariwisata.
Misalnya daerah Canggu yang tiba-tiba saat ini banyak villa hingga ke daerah Nyanyi dan wilayah Ubud yang jelas-jelas merupakan jalur hijau.
Demikian juga, digital nomad di wilayah Canggu juga perlu pengawasan yang ketat dan memastikan pekerjaan mereka tidak mengambil peran dari masyarakat lokal dan sesuai aturan.
Peran serta seluruh lapisan perlu ditegaskan dalam memberikan informasi yang jelas kepada para wisatawan bahwa Indonesia memiliki aturan-aturan yang perlu ditaati dan mereka harus menaati aturan tersebut.
Tetapi, apabila mereka keras kepala, maka mereka harus siap untuk menerima konsekuensinya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.