Pemilu 2024
Bocoran Denny, MK Putuskan Coblos Partai, Mengklaim Info dari Sumber yang kredibel
Bocoran Denny, MK Putuskan Coblos Partai *Mengklaim Info dari Sumber yang kredibel *Juru Bicara Mahkamah Konstitusi Belum Tahu
JAKARTA, TRIBUN-BALI.COM - Pakar Hukum Tata Negara Denny Indrayana membocorkan informasi pribadi yang diterima dirinya soal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem Pemilu Legislatif.
Denny menyebut, dirinya mendapatkan informasi kalau MK bakal memutuskan gugatan Nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem Pemilu dengan putusan proporsional tertutup atau coblos partai.
"Pagi ini saya mendapatkan informasi penting. MK akan memutuskan Pemilu Legislatif kembali ke sistem proporsional tertutup, kembali memilih tanda gambar partai saja," tulis Denny dalam akun Instagram pribadinya @dennyindrayana99, dikutip Minggu (28/5).
Denny menyebut, putusan itu diambil setelah adanya dissenting opinion atau perbedaan pendapat dalam menjatuhkan putusan antara hakim MK. Dimana jumlah perbandingannya yakni 6 hakim berbanding 3 hakim.
Perihal darimana informasi yang dirinya dapat, Denny tidak membeberkan identitas sosok tersebut. Terpenting kata dia, informasi yang dia terima itu kredibel.
"Siapa sumbernya? Orang yang sangat saya percaya kredibilitasnya, yang pasti bukan Hakim Konstitusi," ucap Denny.
Jika memang pada putusan nantinya MK mengabulkan sistem Pemilu dengan proporsional tertutup, maka kata dia, sistem Pemilu di Indonesia akan kembali ke masa orde baru (Orba). "Maka, kita kembali ke sistem Pemilu Orba: otoritarian dan koruptif," kata Denny.
Dalam unggahannya itu juga, Denny menyampaikan kondisi politik tanah air saat ini.
Salah satunya yakni perihal penegakan hukum di Indonesia yang didasari pada putusan MK terkait masa jabatan pimpinan KPK.
"KPK dikuasai, pimpinan cenderung bermasalah yang dihadiahi gratifikasi perpanjangan jabatan 1 tahun," kata Denny.
"PK Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko, atas Partai Demokrat, diduga ditukarguling dengan kasus korupsi mafia peradilan di MA. Jika Demokrat berhasil "dicopet", istilah Gus Romi PPP, maka pencapresan Anies Baswedan hampir pasti gagal," sambungnya.
"Masihkah ada harapan? Yang pasti terus ikhtiar berjuang, sambil menanti kemukjizatan. Salam integritas!" tutup Denny.
Diberitakan sebelumnya, MK resmi telah rampung menggelar sidang Uji Materiil UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sistem proporsional terbuka pada Selasa (23/5).
Sidang dengan materi perkara nomor 114/PUU-XX/2022 tuntas dilaksanakan setelah mengagendakan keterangan pihak terkait Partai NasDem dan Partai Garuda.
“Hari ini akan menjadi sidang terkahir,” ucap Wakil Ketua MK Saldi Isra di persidangan.
Dengan demikian, maka pihak terkait sudah tidak bisa lagi mengajukan saksi ahli untuk memberikan keterangan.
Sebab MK telah menetapkan batas pengajuan ahli tersebut pada 18 April 2023 lalu. Ia menambahkan, jikapun ada permohonan keberatan dari pemohon, maka itu disampaikan dalam kesimpulan.
“Jadi ini perlu penegasan-penegasan terutama yang memungkinkan penambahan waktu, karena kita akan segera menyelesaikan permohonan ini,” katanya.
Sementara itu, Ketua MK Anwar Usman mengatakan bahwa setelah persidangan, maka agenda selanjutnya adalah penyerahan kesimpulan dari masing-masing pihak terkait.
Penyerahan tersebut diserahkan paling lambat 7 hari kerja usai sidang terakhir ini digelar.
Setelah tahapan tersebut selesai, Mahkamah akan menggelar Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan waktu menggelar sidang putusan sistem Pemilu.
“Acara selanjutnya atau agenda selanjutnya adalah penyerahan kesimpulan dari masing-masing pihak, termasuk pihak terkait. Penyerahan kesimpulan paling lambat hari Rabu 31 Mei 2023 jam 11.00 WIB,” kata Anwar Usman.
Namun demikian, hingga sidang selesai dan ditutup pada sekitar pukul 12.36 WIB, MK belum menyatakan kapan sidang putusan gugatan sistem Pemilu ini akan dilaksanakan.
Dihubungi terpisah kemarin, Juru Bicara Mahkamah Konstitusi(MK), Fajar Laksono mengaku belum mengetahui kabar bahwa sidang uji materi UU Pemilu sudah diputuskan dengan dissenting opinion.
"Saya belum tahu," ujarnya.
Bisa Menguras Energi
WAKIL Ketua Umum DPP Golkar Ahmad Doli Kurnia merespons rumor bahwa MK akan memutuskan sistem Pemilu mendatang menggunakan sistem proporsional tertutup.
Menurutnya, Golkar tetap pada sikapnya yakni Pemilu dilaksanakan dengan sistem yang sebelumnya sudah dilakukan yakni proporsional terbuka.
"Kalau Golkar posisinya sudah jelas, kami meminta kepada sembilan hakim konstitusi bersama dengan delapan partai politik yang lain itu dari beberapa bulan lalu sudah menegaskan sikap kami bahwa sebaiknya Pemilu 2024 ini tetap menggunakan Pemilu yang ada," kata Doli ditemui di kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat.
Doli melanjutkan, karena Pemilu sudah memulai tahapan itu pada tanggal 14 Juni.
Dan tahapan itu sekarang semakin maju. Semua orang atau partai telah mendaftarkan Bakal Calon Anggota Legislatif di semua tingkatan.
"Oleh karena itu kita berharap sembilan hakim konstitusi itu tetap konsisten terhadap putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008. Yang menegaskan sistem yang digunakan adalah sistem proposional terbuka," kata Doli.
Ia mengungkapkan, kalaupun nanti ada perubahan sebaiknya dilakukan sebelum tahapan Pemilu dilaksanakan atau sesudah Pemilu selesai.
"Jadi menurut saya kalau nanti ditetapkan berbeda dengan yang sekarang ini akan menguras energi lagi," tegasnya.
Artinya kata Doli, partai-partai yang sudah mengusulkan Bacaleg ini jadi terbuang.
"Oleh karena itu kami percaya bahwa hakim konstitusi itu akan melihat realitas tahapan Pemilu yang sudah dilakukan," tutupnya.
Suburkan Korupsi Politik di Parpol
PENELITI Indonesian Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhan berharap, hakim MK dapat memutuskan gugatan nomor 114/PUU-XX/2022 terkait sistem Pemilu dengan mekanisme proporsional terbuka. Kurnia lantas membeberkan kekhawatiran, jika nantinya MK memutuskan sebaliknya, atau mengabulkan gugatan yakni memberlakukan sistem Pemilu dengan proporsional tertutup.
Menurut dia, jika sistem Pemilu dilakukan dengan proporsional tertutup maka membuka potensi terjadinya praktik korupsi di politik.
"Tentu ICW berhadap putusan MK nanti tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Karena kami beranggapan, konsep proporsional tertutup justru akan berpotensi membuka praktik korupsi di internal parpol," kata Kurnia.
Adapun bentuk praktik atau tindakan korupsi yang rentan terjadi di internal partai politik dengan sistem tersebut yakni, perihal perolehan nomor urut calon legislatif (Caleg). Menurut dia, dengan sistem tersebut, besar potensi para Caleg untuk membeli nomor urut agar bisa ditempatkan di urutan yang diinginkan.
Hal itu didasari karena dalam mekanisme proporsional tertutup maka partai sendiri yang akan menentukan siapa Calegnya untuk lolos menjadi anggota dewan.
"Misalkan ada Bacaleg yang ingin jadi Caleg, dengan praktik selama ini mereka pasti berharap dapat nomor urut tertentu. Dan itu kami khawatir jika proporsional tertutup maka praktik korupsi di sana kian massif terjadi jika MK mengubah sistem proporsional terbuka ke tertutup," tutur dia.
Lebih jauh kata Kurnia, dengan mekanisme proporsional tertutup juga dapat memutuskan harapan masyarakat kepada Caleg yang dipilihnya. Sebab, Caleg yang akan maju sebagai anggota dewan penentunya berada di tangan partai politik.
"Sudah pasti akan menjauhkan tali mandat antara masyarakat dan calon anggota legislatif. Itu yang kami lihat menjadi poin-poin krusial ketika nanti MK memutus proporsional tertutup," ucap dia.
Atas hal itu, dirinya berharap agar proses Pemilu yang sudah berjalan seperti saat ini untuk diteruskan. Namun kata dia, mengenai korupsi dalam mekanisme ini harus dideteksi sedini mungkin dengan melakukan pengetatan pengawasan.
"Jadi proses sudah berjalan, sebaiknya memang menggunakan proporsional terbuka. Tinggal persoalannya adalah aspek pengawasan yang diperketat jika kekhawatirannya marak politik uang," tukas dia. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.