Seputar Bali

Nelayan Benoa Mengeluh Pendapatan Turun Drastis Akibat Keruhnya Air Laut, Diduga Karena Pengerukan

Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Nafas Tanjung Benoa, Abdul Latif mengaku pendapatan nelayan menurun akibat keruhnya air laut

Istimewa
Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Nafas Tanjung Benoa, Abdul Latif. Nelayan Benoa Mengeluh Pendapatan Turun Drastis Akibat Keruhnya Air Laut, Diduga Karena Pengerukan 

Laporan wartawan Tribun Bali, Adrian Amurwonegoro

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ketua Kelompok Nelayan Penyelam Tradisional Satu Nafas Tanjung Benoa, Abdul Latif mengaku pendapatan nelayan menurun antara 60 hingga 80 persen dari yang sebelumnya Rp 200 ribuan per hari akibat keruhnya air laut diduga berasal dari kawasan proyek di sekitar Pelabuhan Benoa, Denpasar, Bali. 

Abdul menyampaikan, bahwa beberapa nelayan yang berada di kawasan Tanjung Benoa seperti nelayan udang ronggeng dan kerang batu-batu, sedang mengalami kesulitan mencari sumber pendapatannya.

Baca juga: Gerak Cepat Forum Peduli Wanasari Bersatu, Dirikan Tenda Untuk Korban Kebakaran di Jalan Kartini

“Ya di sekitar sana ya airnya keruh yang pasti, sebenarnya selain nelayan penyelam juga ada pencari udang ronggeng sama pencari batu-batu (kerang laut,-Red) kan banyak juga, udang ronggeng itu kan tempatnya di sana,”

“Lubangnya sarang udang ronggeng hilang semua, tinggal pinggir-pinggirnya aja,” ungkap Abdul saat dijumpai di Kampung Bugis, Tanjung Benoa, Bali, Selasa 13 Juni 2023. 

Baca juga: Ratusan Mahasiswa Universitas Terbuka Di Wisuda, Ini Harapan Rektor Hingga Gubernur Bali

Keruhnya air laut juga membuat nelayan gurita menurun roda ekonominya. Dikatakan Abdul, mereka harus berjuang melawan keruhnya air laut di malam hari.

“Iya kan banyak juga nelayan gurita itu sudah lama,”

“Menyelam mencari gurita siang, tidak kelihatan kalau airnya keruh, ini sangat mengganggu nelayan tradisional yang menyelam malam,” tutur pria yang sudah 40 tahun bekerja sebagai nelayan ini.

Abdul berharap solusi mengenai aturan pembuangan material dari hasil pengerukan, pengeboran, dan pendalaman laut sebuah proyek agar tidak merusak ekosistem.

“Harusnya buang 12 mil dari daratan, tapi ini terlalu dekat dengan daratan, ini harus jadi perhatian bersama, warga butuh kompensasi karena kehilangan hak dasar mereka," pungkasnya. (*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved