Syarat Dwijati Menjadi Sulinggih

Beberapa Syarat Dwijati Menjadi Sulinggih Diperbaharui, Tak Ada Istilah Diksa Massal

Beberapa Syarat Dwijati Menjadi Sulinggih Diperbaharui, Tak Ada Istilah Diksa Massal

Penulis: Putu Supartika | Editor: Fenty Lilian Ariani
Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Ilustrasi Sulinggih - Beberapa Syarat Dwijati Menjadi Sulinggih Diperbaharui, Tak Ada Istilah Diksa Massal 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Beberapa syarat untuk menjadi seorang sulinggih atau dwijati kini diperbaharui.

Hal tersebut berdasarkan pada hasil Pasamuan Agung Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Tahun 2023 yang dilaksanakan di Badung beberapa waktu lalu.

Ketua PHDI Bali, I Nyoman Kenak menuturkan, masing-masing daerah kini diberikan menonjolkan atau diakomodir untuk abiseka masing-masing sesuai kedaerahan.

"Misalnya ada di Kalimantan sulinggih disebut dukun, kini ditambahkan pandita dukun," kata Nyoman Kenak Kamis, 16 November 2023.

Kemudian untuk seorang yang akan mediksa dwijati haruslah terpelajar dan tahu tentang ilmu agama dan kebrahmanaan.

Karena seorang sulinggih laksana orang yang terpelajar dan akan menjadi seorang guru bagi umat.

"Ada usulan minimal S1, tapi disepakati minimal SMA, dengan catatan harus mempunyai pendidikan kebrahmanaan," katanya.

Sementara untuk usia masih tetap minimal 40 tahun.

Namun dimungkinkan usia 33, namun dengan pertimbangan yang sangat berat dan ketat dan harus mendapat gemblengan atau pendidikan khusus dari nabe.

Baca juga: 230 Orang Jalani Wisuda, Lulusan STIMI Handayani Diarahkan Jadi Job Creater Tak Hanya Job Seeker

Kemudian, ada juga larangan diksa kolektif massal dan hal tersebut tidak dibenarkan.

“Kalau mediksa beberapa sulinggih, nabe juga harus 3 orang untuk satu sulinggih tersebut. Tidak boleh satu nabe untuk lebih dari satu sulinggih. Kalau dua orang, nabe harus enam orang dan seterusnya,” katanya.

Dalam pelaksanaan dwijati juga tak boleh tanpa nabe atau hanya menggunakan widhi nabe, namun harus ada tiga nabe yakni nabe napak, nabe waktra, dan nabe saksi.

“Selain itu, tidak boleh juga menabe kepada layon atau menggunakan nabe yang sudah meninggal,” paparnya.

Dan semua sulinggih, meskipun tidak akan muput wajib diketahui oleh PHDI di wilayah masing-masing.

Juga wajib mendapat persetujuan dari dadia atau umat Hindu sekitar.

“Syarat lainnya masih sama, yakni tidak pernah dipidana dengan bukti skck dan mendapat dukungan dari umat Hindu setempat. Tidak boleh cacat, ceda angga, dan tetap ada diksa pariksa untuk mengetahui kesiapan seorang calon sulinggih,” katanya.

Selain itu, seorang sulinggih untuk menjadi calon nabe minimal harus 4 tahun menjadi sulinggih.

Tak hanya masalah sulinggih, dalam Pasamuhan ini juga dibahas beberapa hal salah satunya tentang pura di IKN termasuk beberapa usulan tentang nama.

“Itu sifatnya rekomendasi untuk pura di IKN, kapan odalan, tingkatan melaspas. Dan kami ingin bukan Bali sentris, tapi nusantara dan sesuai dengan kebudayaan di sana, bagaimana pelaksanaan upacara, caru, menghargai budaya di sana,” katanya.

Juga dibahas terkait penelusuran aset PHDI dan juga dibentuk tim audit internal untuk melakukan audit di tubuh PHDI. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved