Seputar Bali
Dampak Musim Kemarau Berkepanjangan, Lahan Cabai Rawit di Buleleng Berkurang, Sisa 520 Hektar
Luas lahan cabai rawit di Buleleng berkurang. Petani memilih menanam komoditas lain yang lebih irit air akibat musim kemarau berkepanjangan
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Ngurah Adi Kusuma
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Luas lahan cabai rawit di Buleleng berkurang. Petani memilih menanam komoditas lain yang lebih irit air akibat musim kemarau berkepanjangan.
Pemerintah pun saat ini berupaya mengembalikan luasan lahan yang hilang, dengan membagikan bibit cabai gratis bekerjasama dengan Bank Indonesia Provinsi Bali.
Kabid Hortikultura Dinas Pertanian Buleleng, I Gede Subudi ditemui Rabu (22/11) mengatakan, pada 2022 lalu luas lahan cabai rawit di Buleleng sekitar 1.100 hektar.
Sementara pada 2023 luas lahannya berkurang menjadi 520 hektar.
Baca juga: Penemuan Mayat Mahasiswa di Kamar Kos, Polresta Denpasar : Kami Menunggu Hasil Pemeriksaan Otopsi
Berkurangnya luas lahan cabai ini sebagian besar terjadi di Kecamatan Gerokgak, seperti di Desa Sumberklampok, Sumberkima dan Pejarakan.
Dengan sisa lahan yang ada saat ini, produksi cabai rawit di Buleleng mencapai 14.783 kwintal.
Jumlah ini dikatakan Subudi sejatinya cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Buleleng.
Hanya saja, hasil produksi cabai di petani sebagian besar diserap oleh para pengepul untuk dijual ke Denpasar dan Tabanan.
Petani pun lebih tergiur untuk menjual hasil produksinya kepada pengepul lantaran harga yang ditawarkan lebih mahal bila dibandingkan dengan harga yang diberikan oleh Perumda Swatantra.
Baca juga: KPU Bangli Sebut Belum Temui Kerusakan Logistik, Masih Tunggu Kotak dan Surat Suara
"Kalau Swatantra misalnya bisa beli Rp 30 ribu per kilo, sementara pengepul bisa mencapai Rp 35 ribu per kilo. Sehingga petani lebih tergiur untuk menjualnya kepada pengepul," jelas Subudi.
Subudi menyebut berkurangnya luas lahan cabai ini terjadi lantaran petani beralih untuk menanam komoditi yang lebih irit air dan tidak membutuhkan ekstra perawatan.
Seperti menanam kacang gude (undis), jagung dan kunyit.
"Harga kacang undis sekarang mahal, di pasaran tembus di angka Rp 100 ribu per kilo. Makanya petani banyak beralih ke kacang undis,”
“Ketimbang menanam cabai, harus rutin disiram dan dipupuk serta rentan terkena penyakit layu. Kami pun tidak bisa memaksa petani agar tetap menanam cabai," terang Subudi.
Untuk mengembalikan lahan yang hilang, pihaknya bersama BI Bali saat ini tengah mendistribusikan bantuan 100 ribu bibit cabai di empat kecamatan.
Baca juga: Turah Bima Ditunjuk Sebagai Penglingsir Puri Agung Denpasar, Jadi Kandidat Raja Denpasar X
Cabai-cabai itu diperkirakan bisa dipanen pada Januari 2024 mendatang.
"Ada yang sudah ditanam sejak dua bulan yang lalu. Ada juga yang baru mau ditanam, tergantung kesiapan air di daerah masing-masing,”
“Kalau kurang air takutnya bibitnya mati, nanti petani malah rugi karena mereka juga banyak mengeluarkan modal untuk pupuk," tandasnya. (rtu)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.