Kasus SPI Unud
Tantangan Prof Antara Sumpah Cor Tak Ditanggapi JPU, Dalil Pembelaan Ditolak
Tantangan Prof Antara Sumpah Cor Tak Ditanggapi JPU, Dalil Pembelaan Ditolak
Penulis: Putu Candra | Editor: Fenty Lilian Ariani
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanggapi pembelaan dari terdakwa mantan Rektor Universitas Udayana (Unud) Prof. DR. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng.IPU dan tim penasihat hukumnya di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Selasa, 6 Februari 2024.
Dalam tanggapannya (replik), tim JPU I Nengah Astawa dkk menyatakan, tetap pada tuntutan yang telah diajukan.
Pula menolak dalil pembelaan, baik yang diajukan tersendiri oleh Prof Antara maupun tim penasihat hukumnya, I Gede Pasek Suardika dkk.
Sebelumnya Prof Antara dan tim hukum penasihatnya mengajukan pembelaan, menanggapi tuntutan yang diajukan tim JPU.
Oleh JPU, Prof Antara dituntut pidana penjara masing-masing selama 6 tahun denda Rp 300 juta subsidair 3 bulan kurungan.
Prof Antara dinilai terbukti melakukan tindak pidana gabungan pemerasan dalam jabatan secara bersama-sama dan berlanjut dalam perkara dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) mahasiswa baru (maba) seleksi jalur mandiri Unud tahun 2018-2022.
"Intinya kami tetap pada tuntutan dan menolak dalil-dalil pembelaan yang diajukan tim penasihat hukum maupun terdakwa Prof Antara," tegas JPU I Nengah Astawa didampingi Kepala Seksi Penerangan dan Hukum (Kasi Penkum) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Putu Agus Eka Sabana usai sidang di Pengadilan Tipikor Denpasar.
Nengah Astawa menjelaskan, dalam repliknya tidak lagi membicarakan kerugian keuangan negara. Ini karena pasal yang dibuktikan oleh JPU kepada terdakwa adalah pasal 12 huruf e yang tidak ada kaitannya dengan kerugian keuangan negara.
"Dalam proses pemungutan SPI tidak ada pergeseran, karena dalam dakwaan pasal 12 huruf e itu berbicara inti deliknya adalah unsur pemaksaan untuk menyerahkan uang. Delik itu sudah sesuai ketika penyerahan uang itu dilakukan. Keuntungan itu adalah sebagai motivasi dari pada terdakwa untuk melakukan tindak pidana pemerasan," paparnya.
Baca juga: Tiga Ekor Sapi Bantuan Pemerintah Desa Ditemukan Mati, Diduga Pneumonia dan Bloat
Terkait pengendapan dana SPI di beberapa bank rekanan, kata Nengah Astawa, jika berpedoman pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 129 dan Peraturan Rektor Nomor 3 tahun 2021 seharusnya disimpan dalam bentuk deposito, bukan giro.
"Mereka juga sudah mendalilkan, bahwa ini sudah ada beauty contest, ada aturannya jelas tapi dalam bentuk deposito bukan dalam bentuk giro dan tidak boleh diikat," jelasnya.
Yang paling substansial menurut JPU adalah ketika tim penasihat hukum Prof Antara mengajukan bukti tambahan dari 39 universitas atau perguruan tinggi.
"Itu sudah kami kelompokan. Ada PTNBH, itu jelas pungutannya otonom dan mutlak mereka mempunyai kewenangan. Kalau BLU tetap atas kewenangan Kementerian Keuangan. Kalau PTN Satker itu merujuk pada kementerian teknisnya, ada PT nya," kata Nengah Astawa.
"Sedangkan dalam PMK, yang 9 universitas PN BLU itu ada pendelegasian kewenangan. Diatur di pasal 7 PMK nya. Supaya pungutan SPI nya itu mengikuti ketentuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Kalau di PMK nya Unud, baik PMK 51 maupun 95 tidak ada klausul itu. Itu lah yang membedakan. Intinya, rektor dan terdakwa lainnya tidak boleh mendapatkan keuntungan apapun dari pungutan SPI," sambungnya.
Nengah Astawa kembali menyatakan, pungutan SPI yang tidak sesuai PMK kemudian hanya berdasarkan SK Rektor dan dalam penerapannya tidak benar.
"Seharusnya pengunaan SPI diatur dalam PMK. Ini sudah tidak ada, tapi hanya dibuatkan SK Rektor. SK Rektor yang dipakai dasar memungut dalam implementasinya juga tidak benar, karena ada program studi yang seharusnya tidak dipungut berdasarkan SK Rektor, malah dipungut juga," tutupnya.
Di sisi lain, Prof Antara menyatakan, tantangannya untuk melakukan sumpah cor atau sumpah pemutus yang dituangkan dalam pembelaan tidak ditanggapi tim JPU dalam replik.
"Tantangan saya untuk melakukan sumpah cor itu tidak ada (ditanggapi). Jadi kejujuran apalagi yang harus saya sampaikan dengan sumpah cor sesuai dengan agama dan kepercayaan saya anut. Itu sangat mendasar. Bahwa saya tidak melakukan hal-hal yang dituduhkan. Saya berani melakukan (sumpah cor) karena saya yakin tidak melakukan hal-hal seperti yang didakwakan," ucapnya.
Lebih lanjut, kata Prof Antara, jaksa asal memberikan tanggapan dalam repliknya. Padahal dalam SPI melibatkan banyak orang dari tahun 2018 sampai tahun 2022.
"Jaksa gagal memahami dana PNBP dan dana SPI. Yang kami pakai membayar pegawai dan dosen kontrak itu adalah dana PNBP, bukan dana SPI. Di mana dana SPI itu salah satunya ada di PNBP bersama dana yang lain," jelasnya.
"Kalau kita murnikan dan verifikasi, dana SPI itu sudah terpakai semua. Net kami Rp 470 miliar untuk membangun di periode yang sama. Sedangkan SPI 335 miliar. Tidak ada pengendapan," sebut Prof Antara.
Kembali ditanya mengenai PMK, menurut Prof Antara, PMK itu mengatur layanan akademik. "Semua universitas mengerti dan memiliki tarif layanan akademik. Tapi untuk sumbangan lainnya itu ada di kementerian teknis," terangnya.
Gede Pasek Suardika menyambung, dalil JPU terhadap kerugian keuangan negara sudah tidak ada lagi. "Yang paling tegas diulang lagi, bahwa JPU sudah mengeluarkan dalil soal kerugian keuangan negara. JPU kembali menegaskan bahwa kami tim PH dianggap tidak paham. JPU sudah melepaskan tentang perhitungan kerugian keuangan negara itu sudah tidak ada lagi," ujarnya
"Pertanyaan, kerugian negara Rp 335 miliar itu yang disampaikan jaksa itu kemana. Rp 400 sekian miliar itu di mana, ada juga 100 miliar. Itu beda-beda angkanya. Sudah dua kali jaksa menyampaikan tidak ada kerugian keuangan negara, tetapi pungli. Berapa punglinya? tadi juga tidak disebutkan," tanya Pasek Suardika.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.