Tips Kesehatan
Kenali Lebih Dekat Epilepsi, Cerita Sembuhnya Dua Pasien Ini Setelah Operasi
Kenali Lebih Dekat Epilepsi, Cerita Sembuhnya Dua Pasien Ini Setelah Operasi
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Fenty Lilian Ariani
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Penanganan, mengenal lebih jelas dan tidak memberikan stigma buruk bagi penderita epilepsi menjadi fokus sosialisasi dari Siloam Hospitals Bali dalam peringatan Purple Day atau Hari Epilepsi Internasional.
Adapun kegiatan Purple Day merupakan bagian dari kampanye internasional sejak 26 Maret 2008 di Kanada yang kemudian diikuti 85 negara.
Dan betapa bermanfaatnya jika penanganan epilepsi diketahui secara luas.
Hal ini disampaikan dr. I Gusti Ayu Made Riantarini, Sp.N., pada kegiatan media gathering Siloam Hospitals Bali.
"Karena dengan lebih mengenal epilepsi, tentu akan turut mendorong keluarga penderita lebih terbuka terhadap penanganan yang lebih tepat", kata dokter Gusti Ayu Made Riantarini, Sp.N, yang saat ini aktif menangani pasien epilepsi di RSU Siloam Bali.
Dalam kegiatan ini juga disampaikan edukasi agar masyarakat tidak mempercayai Mitos dan tidak memberikan stigma buruk terhadap penderita epilepsi.
"Harapannya agar memberi manfaat terhadap komunitas dan kualitas hidup pasien semakin lebih baik," imbuh dr. Gusti Ayu Made Riantarini,SpN.

Apa itu Epilepsi?
Epilepsi merupakan keadaan dimana aktivitas sel saraf di otak terganggu, yang menyebabkan munculnya bangkitan kejang.
Gangguan pada sel listrik di otak yang berlebihan ini dapat menimbulkan serangan berulang /perubahan tingkah laku yang bersifat sementara
Menurut dokter spesialis saraf, I Gusti Ayu Made Riantini, epilepsi dapat terjadi sebagai akibat dari kelainan genetik atau cedera otak yang dialami, seperti trauma atau stroke.
Faktor resiko lainnya antara lain usia, genetik, cedera kepala, kejadian kejang demam, lautoimun dan tumor otak.
"Penderita epilepsi terdata sebanyak 65 juta penduduk di dunia. 1 dari 100 orang dan di Indonesia terdapat 150 ribu kasus pertahun", ungkapnya.
Secara spesifik, 50 persen penyebab epilepsi tidak diketahui.
Dan data kunjungan pasien epilepsi di Siloam Hospital Bali periode 2018 hingga 2023 terus mengalami kenaikan
Yakni dimulai tahun 2018 sebanyak 442 pasien, lalu 2019 981 pasien, 2020 yang terus mengalami kenaikan sebanyak 1.593, 2022 tercatat sebanyak 2.339 dan data terakhir yaitu di tahun 2023 sejumlah 3.510 penanganan dan kunjungan.
Baca juga: Termasuk Gorengan, Ini 4 Jenis Asupan Penyebab Epilepsi Kambuh
Penanganan Awal dan Penyembuhan
dr. Dewa Putu Wisnu Wardhana, MD, PHd, FICS, FINSS (Neurosurgeon) menjelaskan beberapa modalitas yang dapat digunakan dalam mendeteksi epilepsi dan penyebabnya yaitu pemeriksaan EEG atau Elektroensefalografi.
Dimana pemeriksaan ini merekam aktifitas elektrik sportan dari otak, selama periode tertentu (30 menit), dari elektrode yang dipasang di kulit kepala dan cara kedua melalui MRI (di kepala).
"Hal ini untuk menilai anatomi otak dan menyingkirkan kelainan otak lain sebagai penyebab epilepsi", kata dokter Dewa Putu Wisnu.
Penyembuhan umum epilepsi dilakukan melalui pemberian obat anti kejang yang diminum sesuai jenis kejang, usia jenis kelamin dan kondisi metabolik.
"Dimulai dengan satu macam obat dosis terendah dan diminum secara teratur", ungkapnya.
Metode penanganan yang lebih advance untuk mengatasi epilepsi yakni dengan terapi VNS dan DBS.
Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, SpBS selaku dokter bedah saraf Siloam Group, menyampaikan bahwa VNS terapi (juga disebut stimulasi saraf vagus) telah disetujui oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) sebagai terapi tambahan untuk orang dewasa dan anak-anak berusia 4 tahun ke atas.
Serta terapi tersebut disetujui untuk mengobati kejang fokal atau parsial yang tidak merespons obat kejang.
"Ini disebut epilepsi yang resistan terhadap obat atau epilepsi refrakter," ucap Dr. dr. Made Agus Mahendra Inggas, Sp.BS.
Dijelaskan Dr. Made Agus Mahendra, menstimulasi saraf vagus (VNS) dapat mencegah atau mengurangi kejang dengan mengirimkan energi listrik ringan dan teratur ke otak melalui saraf vagus.
Sementara itu terapi stimulasi otak dalam (Deep Brain Stimulation) atau DBS merupakan penggunaan alat untuk membantu mengendalikan kejang.
"Dilakukan pembedahan untuk memasang alat tersebut, kemudian di program di klinik rawat jalan oleh dokter spesialis epilepsi," imbuhnya.
Pembedahan dilakukan dengan melihat gangguan pusat titik lokasi kelistrikan di otak pasien.
Metode ini tentu dipilih berdasarkan indikasi yang sangat kuat dengan mempertimbangkan risiko dan benefit yang bisa dialami oleh pasien.
Siloam Hospitals Bali merupakan salah satu rumah sakit unggulan akan penanganan saraf dan bedah saraf di bidang epilepsi.
Testimoni Keluarga Pasien Epilepsi
I Nyoman Swangangga keluarga salah seorang pasien epilepsi mengaku kaget bahwa putrinya terkena epilepsi di usia 14 tahun.
"Berumur 14 tahun baru muncul mulai kejang padahal dari bayi sampai 14 tahun normal tidak ada tanda-tanda epilepsi. Saya bawa ke rumah sakit kabupaten dan mendapatkan penanganan dari dokter spesialis saraf," ungkapnya.
Seiring berjalannya waktu masih terus mengalami kejang dan tidak ada perubahan membaik putrinya disarankan atau dirujuk ke RS Siloam untuk penanganan lebih lanjut.
Saat itu tahun 2020 saat pandemi Covid-19, Swanggangga membawa putri tercintanya ke RS Siloam dan semua obat sesuai dosis dan jam minum telah dilakukan secara disiplin.
Namun belum memberikan tanda-tanda membaik karena masih sering kejang-kejang hingga rawat inap.
Hingga pada akhirnya dr. Gusti Ayu Made Riantarini menyarankan agar dilakukan operasi.
"Seiring dengan waktu dikasih tahu sama dokter Rini, bapak mau anaknya dioperasi? karena penanganan dengan obat tidak membuahkan kesembuhan. Kami jawab iya dan sanggup," kata Nyoman Swangangga.
Saat itu keluarga optimis, percaya, yakin dan tidak ragu dengan pilihan penanganan cara operasi.
Kini sang putri telah sembuh dari epilepsi dan sudah tidak mengkonsumsi obat-obatan lagi seperti dulu.
"Kesembuhan anak saya saat ini astungkara berkat tangan-tangan profesional bapak ibu dokter Siloam," ucapnya.
Sementara itu, I Kadek Dwi Jana menyampaikan bahwa putrinya NKSD (15), mengalami kejang-kejang sejak berusia 3 bulan dan sudah melakukan pengobatan serta penanganan ke berbagai rumah sakit.
Seiring berjalannya waktu saat itu dirinya mendapatkan saran untuk ditangani di RS Siloam.
"Sampai akhirnya kami diperkenalkan di Siloam metode terapi penurunan dosis obat yang mulai dari 6 macam obat hingga 3 macam obat," ungkapnya.
Setelah dilakukan terapi penurunan dosis obat dilanjutkan dengan operasi agar sembuh selamanya dan sejak 7 bulan setelah menjalani operasi sang anak sudah tidak mengalami kejang sama sekali.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.