Berita Nasional
Konferensi THE Digital Universities Asia Dibuka, Tekankan Humanisme Teknologi di Pendidikan Tinggi
Dalam menerapkan digitalisasi di pendidikan tinggi, manusia harus menjadi innovator bukan sekedar pengguna.
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Direktur Jenderal (Dirjen) Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Diktiristek) Republik Indonesia, Prof. Dr. rer nat Abdul Haris membuka event bergengsi di dunia pendidikan tinggi, yakni konferensi Times Higher Education (THE) Digital Universities Asia 2024, yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali, pada 1 hingga 3 Juli 2024.
Menurut Abdul Haris, sebagai negara dengan sistem pendidikan yang terbesar ketiga di Asia dan keempat di dunia, pendidikan tinggi di Indonesia memiliki tantangan mulai dari revolusi industri 4.0, revolusi industri 5.0 dan pandemi Covid-19.
Dalam menghadapi tantangan-tantangan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan digitalisasi pendidikan tinggi, di antaranya Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dan Massive Online Open Courses (MOOCS).
“Kebijakan ini sudah dirasakan oleh 80 persen mayoritas mahasiswa di Indonesia,” ujar Abdul Haris, Selasa 2 Juli 2024.
Baca juga: Bahas Strategi Hadapi Tantangan Transformasi Digital, THE dan UI Gelar Digital Universities Asia
Hal itu dikatakannya saat menyampaikan opening remarks di acara yang digagas Universitas Indonesia (UI) tersebut.
Sebagai negara terbesar ketiga di Asia dan keempat di dunia, pendidikan tinggi di Indonesia memiliki tantangan dimulai dari revolusi industri 4.0, revolusi industri 5.0 dan pandemi Covid-19.
Dirjen Diktiristek juga menyebutkan keberhasilan penerapan digitalisasi di pendidikan tinggi memerlukan keterlibatan manusia.
Hal ini dikarenakan cara berpikir teknologi yang mengabaikan humanisme, sehingga proses berpikir menjadi terabaikan.
Dalam menerapkan digitalisasi di pendidikan tinggi, manusia harus menjadi innovator bukan sekedar pengguna.
“Etika dan sikap belajar positif dalam penggunaan teknologi seperti Artificial Intelligence (AI) sangat penting untuk meningkatkan interaksi dalam pendidikan. Hal ini sejalan dengan prinsip yang disampaikan oleh UNESCO, bahwa teknologi tidak boleh bertentangan dengan etika,” ujar Prof. Abdul Haris.
Etika dalam penggunaan teknologi juga diterapkan untuk penelitian dan pengembangan AI di Indonesia.
Staf Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bidang Sosial, Ekonomi dan Budaya, Wijaya Kusumawardhana menyampaikan dibutuhkan 9 juta talenta bidang digital untuk mendukung transformasi digital berkelanjutan yang sedang dilakukan oleh Kemenkominfo.
“Beberapa program Kemenkominfo yang digalakkan untuk mencapai literasi digital dari tahap paling dasar hingga mahir di Indonesia, antara lain Gerakan Nasional Literasi Digital, Digitalent, dan Digital Leadership Academy. Program ini secara keseluruhan telah mencetak sebanyak lebih dari 23 juta talent selama 5 tahun terakhir,” papar Wijaya Kusumawardhana.
Pengembangan AI di Indonesia ini tentu tidak terlepas dari proses adaptasi dan kolaborasi berbagai pihak.
Hal ini juga dikatakan oleh Rektor UI bahwa di dunia yang berubah dengan cepat saat ini, peran pendidikan tinggi mengalami transformasi besar.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.