Berita Jembrana
Puluhan ODGJ Ngamuk, Petugas Pol PP Jembrana Tangani 28 ODGJ Per Enam Bulan, Terkendala Komunikasi
jika memang menemukan penderita yang tidak berada di rumah atau ditemukan jauh dari rumahnya agar segera melapor.
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, NEGARA - Petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Jembrana mengamankan puluhan orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) selama enam bulan belakangan ini.
Rata-rata mereka yang ditangani karena dilaporkan mengamuk di suatu tempat.
Selain itu juga dikhawatirkan melakukan hal yang tak diinginkan.
Kendala yang dihadapi petugas selama ini adalah soal komunikasi dan sedang mengamuk.
Baca juga: Agama dan Adat Bukan Barometer untuk Deteksi Kesehatan Mental, Ulah Pati di Bali Naik 20 Persen
Sebab, penanganannya perlu skill khusus yang tak sembarang orang bisa melakukannya.
Satpol PP Jembrana sudah menangani sedikitnya 28 ODGJ dalam kurun waktu enam bulan ini.
Dari jumlah tersebut terinci, 23 ODGJ laki-laki dan 5 ODGJ perempuan.
Sebagian besar, mereka ditemukan di luar wilayah.
Misalnya, penderita ODGJ asal Kecamatan Mendoyo ditemukan di Kecamatan Melaya.
Penderita diduga kabur karena kurangnya pengawasan keluarga.
Bahkan, satu di antaranya adalah warga asal Kabupaten Badung yang sempat ditangani di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana.
Ia kemudian ditangani dan dikembalikan ke keluarganya.
“Tahun ini dalam periode Januari-Juni sudah ada 28 orang (ODGJ) yang kita tangani,” ungkap Kabid Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat serta Perlindungan Masyarakat (Tibumtranmas dan Linmas) Satpol PP Jembrana, Tri Karyna Ambaradadi saat dikonfirmasi, Selasa 2 Juli 2024.
Dia menjelaskan, selama ini mereka yang ditangani tak seluruhnya dikembalikan ke rumahnya masing-masing.
Sebab, petugas melihat kondisi yang bersangkutan.
Jika tingkat kambuhnya cukup parah, misalnya mengamuk, petugas membawa atau menyerahkan ke RSU Negara.
Namun, rata-rata selama ini sempat mengamuk lalu dilaporkan ke petugas berwenang.
“Jika memang diperlukan, biasanya kita tangani dan bawa ke RSU Negara untuk selanjutnya ditangani dokter kejiwaan. Jika masih landai atau aman, kita kembalikan ke rumahnya dengan syarat pengawasan kerabat di rumahnya,” jelasnya.
Disinggung mengenai kendala yang dihadapi saat petugas melakukan penanganan selama ini, Ambaradadi menyebutkan ada beberapa hal.
Pertama, komunikasi karena penderita ODGJ lebih banyak tidak bisa diajak komunikasi.
Bahkan jika sudah ditemukan jauh dari rumahnya, biasanya sulit untuk berkomunikasi.
Sehingga, pihaknya harus melakukan penelusuran asal, keluarganya siapa dan sebagainya.
Kedua, kata dia, pihaknya mengalami kesulitan saat penderita tersebut kondisinya tidak baik. Seperti mengamuk dan lainnya.
Hal ini memerlukan teknik khusus agar tidak sampai melakukan hal yang nekat atau sampai membahayakan orang lain.
“Kemudian yang paling disayangkan adalah terkait keluarganya yang kurang maksimal menjaga si penderita tersebut. Sehingga, terkadang ODGJ itu lambat minum obat sehingga sakitnya kambuh dan sering kabur dari rumahnya. Jadi sebenarnya harus pengawasan ketat dari semua pihak,” tegasnya.
Menurut data yang dihimpun Tribun Bali dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Jembrana, kasus ODGJ di Kabupaten Jembrana tercatat 715 orang di tahun 2023.
Mereka yang menderita ODGJ justru pada usia produktif. Bahkan, beberapa di antaranya masih berstatus pelajar.
“Selama 2023 itu ada 715 orang yang mengidap ODGJ. Jumlah tersebut mulai dari kategori ringan, sedang, hingga berat,” kata Kepala Dinkes Jembrana, dr Made Dwipayana saat dikonfirmasi, belum lama ini. (mpa)
Imbau Pengawasan Maksimal
Kabid Tibumtranmas dan Linmas Satpol PP Jembrana, Tri Karyna Ambaradadi mengimbau kepada seluruh masyarakat yang memiliki keluarga atau kerabat dengan kondisi ODGJ agar melakukan pengawasan semaksimal mungkin.
Dan jika memang menemukan penderita yang tidak berada di rumah atau ditemukan jauh dari rumahnya agar segera melapor.
Tujuannya, kata dia, agar tidak sampai menimbulkan hal yang tak diinginkan.
“Kami harap segera dilaporkan ke kami agar segera bisa ditangani," imbaunya.
Kepala Dinkes Jembrana, dr Made Dwipayana menjelaskan, pengaruh media sosial menjadi begitu besar sebagai penyebab seseorang menjadi ODGJ belakangan ini.
Terutama terjadi pada usia produktif bahkan ada beberapa orang anak sekolah.
Sebab, ketika seseorang yang telah memiliki bakat menjadi orang dengan gangguan jiwa dalam tubuhnya kemudian mendapat bullying atau merasa tidak pernah mencapai keinginannya, ia akan semakin parah.
Biasanya, seseorang tersebut tidak mampu melakukan adaptasi terhadap lingkungan atau situasi tertentu.
Karena merasa rendah diri ketika melihat suatu postingan di media sosial.
Sehingga saat ini jumlah penderita ODGJ lebih banyak pada usia produktif.
“Di sini lebih banyak yang rawat jalan. Jarang atau hanya ada beberapa orang saja yang masuk kategori berat misalnya menimbulkan reaksi mengamuk kita rujuk ke RSJ Bangli,” jelasnya.
Untuk menekan atau mencegah, kata dia, pihaknya telah melakukan berbagai upaya yakni edukasi serta sosialisasi melibatkan dokter spesialis jiwa serta Puskesmas.
Edukasi bukan terhadap orang dewasa lagi, melainkan menyasar anak sekolah pada usia dini.
Sebab, bakat menderita ODGJ sejatinya muncul sejak anak-anak.
Ketika tak bisa menyesuaikan diri terhadap lingkungan akhirnya muncul.
“Bahkan kita berikan edukasi dan sosialiasi dari usia dini seperti tingkat PAUD, SD. Kemudian juga usia SMP hingga SMA juga,” katanya. (mpa)
Kumpulan Artikel Jembrana
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.