Berita Gianyar

Upacara Potong Gigi Hingga Bayuh Massal di Griya dan Pasraman Jadi Kebutuhan di Era Industri

Mulai dari metatah, mebayuh dan sebagainya. Bahkan tak sedikit juga yang menggelar upacara otonan secara massal.

|
ISTIMEWA
Salah satu upacara adat massal di Kabupaten Gianyar, Bali. Upacara massal di griya dan pasraman jadi kebutuhan di era industri.  

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Belakangan ini, umat Hindu di Bali yang menggelar upacara massal di griya maupun pesraman, relatif banyak.

Mulai dari metatah, mebayuh dan sebagainya. Bahkan tak sedikit juga yang menggelar upacara otonan secara massal.

Di satu sisi, hal ini dinilai dapat meringankan beban umat, baik dari segi waktu maupun biaya. Namun di satu sisi, tak sedikit pihak yang menilai hal tersebut dapat merusak adat dan tradisi.

Terkait hal tersebut, Ida Pandita Mpu Acharya Nanda mengatakan, pelaksanaan yadnya secara massal sah untuk dilakukan.

Kata beliau, upacara massal ini disebut dengan kinembulan. "Jadi memang ada itu, baik upacara Pitra Yadnya maupun upacara Manusa Yadnya," ujarnya, Kamis 4 Juli 2024.

Baca juga: Angka Ulah Pati di Bali Tinggi, Karangasem Sumbang 22 Kasus Selama 6 Bulan

Baca juga: PDIP Bakal Lawan Kotak Kosong di Pilgub Bali 2024, Koster Temui De Gadjah, Sinyal Berduet?

Salah satu upacara adat massal di Kabupaten Gianyar, Bali. Upacara massal di griya dan pasraman jadi kebutuhan di era industri. 
Salah satu upacara adat massal di Kabupaten Gianyar, Bali. Upacara massal di griya dan pasraman jadi kebutuhan di era industri.  (ISTIMEWA)

 

Meskipun upacara yang dilakukan secara massal telah ada sejak zaman dulu. Namun beliau tak menampik, belakang ini durasinya lebih intens.

Beliau menduga, hal itu tak terlepas dari perubahan zaman, yakni dari era pertanian ke era industri.

"Dulu, ritual di Bali itu basisnya pertanian. Semuanya menggunakan hasil bumi yang sesungguhnya tidak jauh dari lingkungan sekitar.

Namun sekarang kita sudah berada di era industri, era di mana waktu itu menjadi sangat penting, akibatnya, kita seolah kekurangan waktu untuk bisa berkumpul bersama-sama, untuk menyiapkan sarana upakara maupun melaksanakan upacara," ungkapnya.

Ida Mpu menegaskan, saat masyarakat Hindu di Bali masih berkecimpung di bidang pertanian, semuanya bisa dilakukan bersama-sama dengan keluarga maupun tetangga.

Sebab kala itu, umat turun ke sawah bersama-sama, musim panen memanen bersama-sama, waktu lowong juga bersama-sama. Setelah era industri, semuanya berubah drastis. Setiap orang sibuk dengan rutinitasnya masing-masing.

"Sekarang, dengan banyaknya orang bekerja di sektor industri, seperti pariwisata dan sektor jasa, waktu menjadi sangat mahal. Jadi dengan demikian mulai lah masyarakat itu digerakkan oleh pola pikir industri, yakni efektif, efisien, ekonomis dan praktis," tandasnya.

Meskipun demikian, Ida Mpu meminta pada umat yang hanya bisa melakukan upacara massal di griya atau pesraman, supaya tidak menghilangkan esensi suatu upacara.

Selain itu, menurut Ida Pandita, pelaksanaan upacara di griya maupun pesraman dengan merajan/sanggah tidaklah beda.

Sebab sama-sama mandala suci. "Kan bisa menghadirkan Bhatara Hyang Guru di Griya. Dalam konsep Bali, itu disebut nyawang. Bisa itu, fleksibel," tegasnya.

Seorang warga Gianyar, I Ketut Sutama mengatakan, pihaknya sangat terbantu saat adanya griya maupun pesraman yang menyiapkan tempat untuk umat bisa melakukan upacara, baik potong gaji, mebayuh dan sebagainya.

Salah satu upacara adat massal di Kabupaten Gianyar, Bali. Upacara massal di griya dan pasraman jadi kebutuhan di era industri. 
Salah satu upacara adat massal di Kabupaten Gianyar, Bali. Upacara massal di griya dan pasraman jadi kebutuhan di era industri.  (ISTIMEWA)

Sebab karena ini pula, ia yang bekerja di industri pariwisata dengan libur yang ketat, bisa menjalankan swadharmanya sebagai umat Hindu.

"Selain mempersingkat waktu, biayanya juga ringan, karena bisa dilakukan secara massal jadi bisa saling subsidi biaya.

Saya tidak begitu memusingkan kata orang, yang penting saya bisa melaksanakan upacara dengan tenang, kan berupacara itu yg penting adalah tulus ikhlas, bukan seberapa mewah upacara itu," ujarnya. 

Sementara itu, Ketua PHDI Gianyar, I Wayan Ardana mengatakan, upacara massal yang banyak dilaksanakan oleh umat Hindu, yang difasilitasi oleh yayasan, pasraman atau desa adat seperti contoh, ngaben massal, nyekah, metatah dan lain sebagainya, ini sangat membantu meringankan beban masyarakat.

Namun dengan catatan, yadnya yang dilaksanakan dilandasi tiga kerangka dasar agama, yaitu tatwa yang jelas, susila atau etika pelaksanaannya dan upacara atau upakaranya.

Tentu juga didasari atas keyakinan atau sradha serta rasa tulus ikhlas beryadnya dan ini tidak merusak tradisi adat.

"Upacara massal ini sudah dilakukan dari zaman dulu contoh ngaben massal, nyekah massal ngiring di griya. Tidak ada masalah. Jadi dapat disimpulkan upacara massal sangat membantu umat, dan tidak ada merusak adat istiadat," ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved