bisnis

Ada Opsi Tidak Impor! Pemerintah Bakal Impor 1 Juta Sapi Perah Untuk MBG

Eliza mengingatkan tanpa program besutan Presiden Terpilih Prabowo Subianto saja, Indonesia sudah ketergantungan akan impor daging dan susu.

kontan/muradi
SAPI PERAH - Pekerja memerah susu sapi di sebuah peternakan di Bogor, baru-baru ini. Pemerintah bakal mengimpor 1 juta sapi perah untuk MBG. 

TRIBUN-BALI.COM - Pengamat Pertanian Center of Reform on Economic (CORE), Eliza Mardian menanggapi rencana pemerintah untuk menambah impor 1 juta sapi perah dalam mensukseskan program Makan Siang Bergizi (MBG). 

Menurut Eliza, rencana ini akan memberatkan neraca perdagangan pangan dalam negeri. Padahal ada opsi atau kebijakan yang bisa diambil untuk menambah jumlah impor.

"Ada alternatif lain agar MBG ini tidak menambah impor dan jadi beban neraca perdagangan pangan, yakni memanfaatkan sumber protein dan pelengkap nutrisi yang ada sesuai dengan potensi daerah," ujarnya pada Kontan.co.id, Minggu (9/9).

Eliza mengingatkan tanpa program besutan Presiden Terpilih Prabowo Subianto saja, Indonesia sudah ketergantungan akan impor daging dan susu.

Misalnya saja, kebutuhan nasional daging sapi-kerbau sebanyak 54 persen harus dipenuhi dari luar, dan susu sapi berkisar 80 persen dari seluruh kebutuhan nasional. Melihat data ini, menurutnya tidak bijak jika pemerintah memaksakan untuk menambah impor pangan. 

Baca juga: KASUS Landak Jawa, Sekda Bali Dorong BKSDA Gencar Sosialisasi! Seret Nyoman Sukena Jadi Terdakwa

Baca juga: PASCA Kebakaran! Pedagang Jualan di Pelataran, PUPR Kaji Kelayakan Gedung Pasar Ubud

Padahal ada kebijakan lain yang bisa diambil. Contohnya, pelengkap nutrisi, seperti susu bisa dicarikan alternatifnya dengan susu kedelai atau susu kambing dari peternak lokal.

Selain bisa memberi efek ganda terhadap ekonomi lokal, menurutnya susu sapi juga tidak memiliki manfaat yang lebih baik dari sapi kambing dan kedelai. Mengingat, susu sapi memiliki tingkat prevalensi intoleransi laktosa di Indonesia. 

"Pada anak usia 3-5 tahun, tingkat intoleransi laktosa sebesar 21,3 persen, usia 6-11 tahun sebesar 57,8 persen, dan pada anak usia 12-14 tahun sebesar 73 persen (Hegar dan Widodo A, 2015)," jelas Eliza.

Ia menegaskan bahwa pemerintah sebenarnya memiliki banyak pilihan kebijakan yang tidak harus bergantung pada impor

Namun, pilihan tersebut akan bergantung pada keputusan pemerintah selanjutnya. Jika peningkatan impor yang dipilih, maka itu hanya akan menjadi solusi jangka pendek yang tidak memberikan manfaat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi atau produktivitas nasional.

"Program MBG ini harus menjadi momentum untuk membenahi tata kelola yang kacau, serta membangun rantai pasok lokal yang kuat dengan melibatkan peternak, petani, dan nelayan dalam negeri," ungkap Eliza.

Sebelumnya, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian (Kementan) Agung Suganda mengatakan, rencana impor 1 juta ton ini untuk kebutuhan susu selama lima tahun mendatang. 

"Kita upayakan 1 juta itu untuk lima tahun, di tahun 2029 kita bisa mencapai swasembada," jelas Agung usai Rapat Kerja Bersama Komisi IV di Gedung Parlemen, Jumat (6/9).

Dalam tahap awal, pemerintah berencana mendatangkan sapi perah dari Australia. Namun begitu, saat ini pemerintah tengah membuat regulasi agar pengadaan sapi impor bisa didatangkan dari beragam negara, salah satu yang dibidik adalah Brasil.  

Agung menilai Brasil menjadi salah satu alternatif negara pemasok kebutuhan sapi perah lantaran bisa menyanggupi ekspor sebanyak 1 juta sapi perah per tahun.

Pasalnya ia melihat adanya program populis Prabowo ini, dipastikan akan meningkatkan jumlah konsumsi susu yang sudah ada.

"Karena Brasil bisa sanggup 1 juta per tahun (sapi perah), sementara Australia kan 100.000 per tahun (sapi perah)," ujarnya.  (kontan)

Sumber: Kontan
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved