Berita Nasional

Pemikiran Friedrich Karl Von Savigny, Lahirnya Pancasila dan pemikiran Soepomo

Pemikiran Friedrich Karl Von Savigny, Lahirnya Pancasila dan pemikiran Soepomo  

istimewa
Agus Widjajanto 

MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara), apa yang mau dituju bangsa ini, apa yang mau dibangun bangsa ini, dalam jangka panjang, menengah  dan pendek.

Pemerintah kemudian membuat Repelita dalam pelaksanaan pembangunan tersebut.  Itulah wujud dari sistem negara Integralistik ala Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara.

Guru Besar Senior  Hukum Tata Negara dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof. Dr. I Gde Pantja Astawa, dalam sebuah kesempatan ngopi bareng di Bandung mengatakan, ada 2 (dua) hal prinsipil terkait dengan pemikiran Prof. Soepomo yang disampaikan dalam penyusunan UUD 1945 di BPUPKI.

Yaitu: Pertama, konsep Integralistiknya (Soepomo) yang mengadopsi model kepemimpinan raja-raja Jawa pada masa kerajaan (sebagai perbandingan sengan merujuk ke Jepang, Kaisar Hirohoto dan Musolini, Italia) yang menerapkan model kepemimpinan "Manunggaling Kawulo Gusti", bersatunya rakyat dengan Pemimpinnya. Rakyat dan pemimpin merupakan satu kesatuan, maka tidak pada tempatnya  bagi rakyat untuk  berbicara HAM dan Pemimpin diyakini sebagai Wakil Tuhan di dunia yang tidak mungkin akan sewenang-wenang atau zholim kepada rakyat. 

Idealnya, bila yang jadi pemimpin adalah nabi, atau paling tidak malaikat. Karena pemimpin adalah manusia tempatnya bermukim kesalahan atau kekurangan, tentu saja potensi untuk bertindak sewenang-wenang atau zholim/diktator bukanlah suatu hal yang musykil. 

Begitu juga HAM sebagai sesuatu yg melekat pada fitrah manusia yang merupakan karunia Tuhan, tidak dapat dinafikan keberadaannya. Itulah sebabnya, konsep Integralistik Soepomo mendapat sanggahan dari Bung Hatta, yang menyatakan bahwa konsep Integralistik berpotensi besar melahirkan Negara Kekuasaan (Machsstaat) dan perlunya diakui/diberikan jaminan pengakuan terhadap HAM, walau hanya pokok-pokoknya, tidak juga model HAM ala Barat yang lebih mementingkan Hak daripada Kewajiban, melainkan HAM yang menjamin adanya keseimbangan antara Hak dan Kewajiban.

Dengan adanya sanggahan Bung Hatta itulah, konsep Integalistik tidak jadi digunakan basis dalam konteks hububungan rakyat dan pemimpinnya. 

Kedua, Konsep Republik Desa (Soepomo), diadopsi dari praktek pemerintahan desa masa lalu, yaitu adanya konsep "Rembug Desa" yang dalam kontek Indonesia merdeka dijelmakan dalam bentuk institusi negara yg bernama MPR, Kepala Desa, dijelmakan ke dalam bentuk lembaga kepresidenan dengan pemangku jabatannya yang disebut Presiden. 

Konsep Republik Desanya Soepomo itu di adopsi dari pemerintahan desa yang kemudian dimodifikasi dan disesuaikan dengan kondisi dan situasi Indonesia merdeka. 

Sedangkan sekarang, kewenangan MPR sudah dicabut. Dengan demikian, tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas), tidak ada lagi petunjuk arah. Masing – masing pemerintahan dan daerah dalam Otonomi Daerah bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing masing.

Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana masa lalu sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan wakil presiden.

Diubah menjadi suara rakyat langsung menjadi Mandataris presiden, melalui pemilu langsung, yang kita sama-sama  bisa lihat dan merasakan, dimana seolah kita sudah kehilangan ruhnya sebagai sebuah bangsa.

Sudah bermetafora pada bangsa dengan sistem liberal, yang dulu tidak pernah dibayangkan sekalipun oleh para pendiri bangsa, dan itulah yang terjadi.(*)

 

Penulis: Agus Widjajanto 

Praktisi Hukum, Pemerhati Sosial Politik, Budaya Bangsanya, tinggal di Jakarta

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved