Budaya

Pedanda & Tarian Sakral di Konco Cong Poo Kong Bio,Kisah Perjalanan Ida Bhatara Ulun Danu ke Masceti

Begitu pula dengan keberadaan warga keturunan yang zaman dulu banyak berkecimpung sebagai pedagang dan ekonom.

ISTIMEWA/WEG
ODALAN - Upacara di Konco Cong Poo Kong Bio dan Pura Sri Sedana, Gianyar saat Purnama Kapat, Kamis (17/10). Tempat ibadah ini memadukan budaya Hindu Bali dengan Tionghoa.  

TRIBUN-BALI.COM -  Purnama Kapat yang jatuh pada Kamis 17 Oktober 2024, juga menjadi hari baik untuk umat Konghucu. Mengadopsi upacara keagamaan Hindu di Bali, upacara yang digelar umat Konghucu juga dipimpin pedanda, diiringi tarian sakral.

Pemandangan ini terlihat di tempat ibadah Cong Poo Kong Bio dan Pura Sri Sedana, Gianyar. Konco Cong Poo Kong Bio adalah tempat ibadah Konghucu untuk warga Tionghoa yang tinggal di Gianyar. Tempat ibadah ini sudah ada sejak ratusan tahun silam.

Umat Konghucu meyakini yang berstana adalah Ida Bhatara Pura Ulun Danu Batur. Berdasarkan kisah, stana Ida Bhatara Pura Ulun Danu Batur di tempat ibadah ini tak terlepas dari cerita perjalanan ke Pantai Masceti, Blahbatuh.

Baca juga: Layani Hampir 18 Juta Penumpang, Bandara Ngurah Rai Catat Kinerja Triwulan III Sangat Positif

Baca juga: Tingkatkan Pengembangan Diri Mahasiswa, Gramedia & Danamon Goes to Campus 2024 Hadir di Undiknas 

Ketua pemaksaan Cong Poo Kong Bio dan Pura Sri Sedana, Gede Sugiharta mengisahkan, Ida Bhatara Pura Ulun Danu Batur singgah di tempat yang sekarang menjadi lokasi Cong Poo Kong Bio. Saat singgah tersebut, hujan turun hanya di area konco saja.

Maka dibangun penanda di tempat ibadah dengan batas hujan. Penanda itu kemudian berkembang menjadi konco yang diempon oleh warga keturunan Tionghoa di Gianyar. Keberadaan Cong Poo Kong Bio dan Pura Sri Sedana erat kaitannya dengan Ratu Subandar di Pura Ulun Danu Batur.

Begitu pula dengan keberadaan warga keturunan yang zaman dulu banyak berkecimpung sebagai pedagang dan ekonom. Penggunaan sarana upakara Hindu, kata dia, adalah bentuk perpaduan dua kebudayaan.

"Karena itu, dalam pelaksanaan piodalan dan upakara, kami memadukan budaya Tionghoa dan Hindu Bali. Selain tradisi Konghucu yang menggunakan lilin, dupa, dan persembahan lainnya saat piodalan juga melaksanakan bebantenan seperti piodalan di pura pada umumnya," ujarnya.

Ia menjelaskan, upacara dipimpin oleh dua pemuka agama. Upacara di Cong Po Kong Bio dipimpin Bio Kong Sony Cendrawan, sedangkan di Pura Sri Sedana dipimpin Ida Pedanda Gede Manuaba dari Griya Kekeran, Pasdalem.

Sebelum umat melakukan persembahyangan, juga dilangsungkan tari-tarian seperti rejang dewa, baris gede, rejang renteng, rejang sari, tari topeng dan Sidakarya. Tarian tersebut berkolaborasi antara Pemaksan Konco dengan warga Lingkungan Sangging, Gianyar.

Adapun yang dipuja atau berstana di konco ini antara lain Dewa Cong Poo Kong (dewa perdagangan) Dewa Kwan Kong (dewa keadilan) Dewa Tan Hu Sin Jin (dewa arsitek) dan Dewa Cai Sen Ya (dewa uang).

Gede Sugiharta mengatakan, jumlah pemaksan dari konco ini kurang lebih 120 kepala keluarga. Mereka sebagian besar warga Tionghoa yang berdomisili di Kecamatan Gianyar. "Tempat ibadah ini bukan hanya milik umat Konghucu tetapi juga masyarakat yang berkeyakinan untuk melakukan persembahyangan di sini," ujarnya. (wayan eri gunarta)

 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved