Sponsored Content
‘CRISIS’, Pameran Seni Rupa Jimbafest 2024 di Jimba Art Hall Bali 26 Oktober – 26 November
Agung Prianta dengan sengaja menyiapkan tempat pameran baru, dikerjakan hampir sebulan penuh berupa hall yang ia namai Jimba Art Hall
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Ketika dunia dalam keadaan tidak sedang baik-baik saja, tentu itu berarti kita sedang dalam keadaan bahaya.
Ungkapan ini sebagaimana anggapan terhadap peran Jimbafest turut mengkritisi keadaan dunia yang semakin mengkhawatirkan.
Jimbafest 2024 di bagian program seni rupa memang sedang berfokus pada pemikiran bagaimana menghadirkan pemeran seni rupa yang berbeda dari biasanya.
Dr. Putu Agung Prianta selaku founder Jimbafest mengatakan bahwa pameran ini merupakan upaya untuk melihat dan mengamati kenyataan yang sebenarnya, menggali permasalahan, merespon apa yang terjadi, serta menghadirkan dan menyuguhkan ulasan akan posisi seniman sebagai studi kasus melihat berbagai penurunan kualitas yang menjadi “Crisis” kehidupan di muka bumi ini.
Baca juga: Ajak Seniman & Komunitas Jaga Keberlanjutan Bali, Jimbafest 2024 ke-11 Hadir Lagi
Krisis lingkungan, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan hampir saling terhubung satu dengan yang lainnya.
Persoalan perubahan iklim yang sangat ekstrem, kekeringan, banjir, longsor, mencairnya es di dua kutub, polusi yang semakin meningkat, perang, kemiskinan, kekerasan, serta muncul dan merebaknya penyakit yang tidak pernah terduga menjadi sorotan tajam betapa memang dunia semakin dalam keadaan tidak baik.
Untuk itu pameran seni rupa “Crisis”, karya seni yang akan dipamerkan tidak terbatas pada keindahan karya yang memberi nilai kepuitikan semata, tapi menyikapi Crisis dengan menampilkan gagasan pemikiran pada “lebih bermakna sesuatu” dan memberikan penyadaran secara kristis.
Agung Prianta dengan sengaja menyiapkan tempat pameran baru, dikerjakan hampir sebulan penuh berupa hall yang ia namai Jimba Art Hall yang berlokasi di Jimbaran Hub.
Tempat pameran ini menurutnya terinspirasi dari gudang-gudang tua di beberapa tempat yang pernah ia kunjungi baik di eropa maupun kota-kota di Asia.
Jimba Art Hall ada atau hadir sebagai ingatan baru untuk memulai dan menginisiasi seni bagi Jimbaran sebagai pusat seni baru di Pulau Bali.
Ketika diangkatnya tema ”Crisis,” Agung Prianta bertemu dengan curator seni Yudha Bantono dan Jean Couteau, ia ingin menempatkan kenyataan dan kebenaran hakiki sebagai sebuah kritik.
Walaupun kental bernuansa provokasi sebagai sebuah praktek penyampaian, Agung Prianta seolah ingin memperkenalkan strategi baru sebagai bagian komunikasi penting yang hadir di tengah-tengah beragam konflik saat ini.
Untuk itu ketika menerima sinyal dari gelagat Agung Prianta, Yudha Bantono dan Jean Couteau memilih dan mengundang karya dari 13 seniman baik dari Indonesia maupun mancanegara.
Seniman-seniman itu diantaranya dari Indonesia Made Wianta, Made Bayak, Gilang Propagila, Jango Pramartha, Wayan Upadana dan Arkiv Vilmansa.
Sedangkan dari manca negara diantaranya Paul Trinidad, Jon Terry, Jerremy Blank, Antony Muia, Vladimir Todorovic, kesemuanya dari Australia, serta Stephan Spicher dari Switzerland.
Ketigabelas seniman ini akan membawa gagasan sebagai bagian dari kekuatan karyanya, nantinya karya-karya itu akan menjadi pembicaraan yang lebih luas, bahkan menjadi bagian yang dapat membangun ruang kesadaran pemirsa atau pengunjung Jimbafest, bahkan akan menjadi aksi konkret.