Sponspor Content

Dewan Bangli Ida Bagus Santosa, Nilai Voting Penting untuk Netralitas APBD

Hal tersebut pun menyebabkan, rapat yang digelar kerap mubazir. Biasanya, hasil pemikiran yang dituangkan dalam RAPBD ini, hanya pihak tertentu.

ISTIMEWA
Anggota DPRD Bangli, Ida Bagus Made Santosa. 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebagai roh dari jalannya suatu pemerintahan, kerap menjadi pemicu persoalan.

Bahkan di Kabupaten Bangli, Bali sendiri, anggota DPRD Bangli dari Partai Golkar, Ida Bagus Made Santosa menilai, pokok pikiran beberapa anggota dewan kerap tidak masuk dalam rancangan APBD.

Hal tersebut pun menyebabkan, rapat yang digelar kerap mubazir. Biasanya, hasil pemikiran yang dituangkan dalam RAPBD ini, hanya pihak tertentu.

Karena hal itu, anggota DPRD Bangli, Ida Bagus Made Santosa meminta pengambilan keputusan dalam penetapan APBD Tahun 2025, yang akan diambil dalam Sidang Paripurna.

Baca juga: PANAS Kasus Ormas, Polisi Bersenjata Berjaga di The Umalas Signature, Pemegang SHGB Pemilik Sah

Baca juga: BAKAR Glamping Teman, Residivis di Badung Berulah Lagi, Pasek Berdalih Dijauhi Makanya Nekat!

Gus Santosa mengatakan alasan dirinya menolak dilakukan pengambilan keputusan secara musyawarah, lantaran APBD tahun 2025 tidak memenuhi syarat secara formil maupun materiil.

Syarat formil seharusnya, kata dia, mengakomodasi pokok-pokok pikiran dewan. Gus Santosa mengatakan, hal tersebut tidak ada dalam APBD Perubahan 2024 maupun dalam  RAPBD Induk 2025. 

“Kita sama sekali tidak boleh menyampaikan saran, memasukan ide, saran maupun gagasan,” ungkapnya.

Dia mengatakan, yang terjadi selama ini adalah penjelasan dan penyampaian semata, sehingga hanya menjadi pemahaman tanpa menjadi sebuah persoalan yang harus ditindaklanjuti menggunakan APBD.

“Debat terkait sekala prioritas tidak ada, di sana Musrenbang, di sini ada pokiran dewan, sama sekali tidak ada dalam pembahasan rancangan itu,”ucapnya.

Disebutkan, esensi pembahasan ini tidak bisa merubah titik maupun koma dalam rancangan. “Bahwa saya dalam rapar ini mempunyai hak suara, sedangkan hak suara saya terkait pengambilan keputusan diputuskan apakah diterima atau ditolak.  

Untuk itu saya menolak dilakukan secara musyawarah mufakat, musyawarah tidak apalagi mufakat, jadi sebaiknya dilakukan voting,”ungkapnya.

Dengan demikian, jelas Santosa, siapa tidak setuju dan setuju akan jelas. Karena hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban politik dan hukum di kemudian hari.

”Saya menganggap lembaga DPRD dibutuhkan hanya sebagai lembaga tukang stempel. Ya memang seperti itu kenyataannya. Buktinya, dalam pembahasan tidak boleh merubah titik dan komanya. Jadi sekali lagi sampaikan,  kita diminta hanya sebagai tukang stempel saja. Yakni mengesahkan, tanpa merubah titik dan komanya,”tandasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved