Pohon Tumbang di Monkey Forest
Tragedi Pohon Tumbang di Monkey Forest: Pengamat Pariwisata Sebut Perlu Ada Standar Pengamanan
Pengamat Pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, SS.,M.Par., menyebut perlunya standar keamanan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Pengamat Pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, SS.,M.Par., menyebut perlunya standar keamanan di setiap destinasi tujuan wisata.
Hal ini terkait dengan tragedi pohon tumbang di Monkey Forest Ubud yang menelan 2 orang korban jiwa.
Destinasi tujuan wisata (DTW) khusus wisata alam (ekowisata) memiliki karakteristik unik yang melibatkan interaksi dengan alam liar, medan yang tidak selalu terkontrol, serta cuaca yang dapat berubah drastis.
Sehingga diperlukan adanya standar keamanan demi mencegah kecelakaan yang tidak diinginkan akibat cuaca.
Baca juga: Buntut Keributan Sopir Taksi Lokal dan Online di Pantai Matahari Terbit Bali, Akan Digelar Sidak
“Oleh karena itu, standar keamanan sangat diperlukan untuk melindungi pengunjung dari potensi bahaya, seperti kecelakaan fisik (jatuh, tergelincir) atau bencana alam (longsor, banjir, kebakaran hutan),” jelas Suniastha.
Lebih lanjutnya ia mengatakan standar keamanan ini akan menjamin keberlanjutan ekosistem, karena wisatawan yang tidak teredukasi atau fasilitas yang tidak memadai dapat merusak lingkungan.
Selain itu standar baru juga akan meningkatkan reputasi DTW, karena pengelolaan yang baik dan aman akan menarik lebih banyak pengunjung.
Suniastha menegaskan bahwa pengawasan khusus mutlak diperlukan di DTW khusus wisata alam, karena keunikan dan risiko alamiah lokasi seperti gunung, hutan, pantai, atau gua memiliki risiko yang berbeda-beda.
Faktor manusia, seperti kurangnya kesadaran pengunjung atau aktivitas yang berisiko, frekuensi kunjungan wisatawan, terutama saat musim liburan, meningkatkan potensi kecelakaan.
Baca juga: UMK Bali 2025: Gaji Denpasar dan Badung Naik 6,5 Persen, Pekerja Pariwisata Badung Dapat UMSK
“Pengawasan khusus melibatkan penggunaan teknologi, seperti CCTV atau drone, untuk memantau area yang sulit dijangkau, penempatan petugas keamanan di titik rawan, dan pelibatan komunitas lokal sebagai penjaga alam,” sambungnya.
Apabila terjadi kecelakaan atau korban jiwa di DTW, Suniastha mengatakan bahwa pengelola dapat menghadapi sejumlah risiko hukum.
Seperti, tuntutan perdata dari korban atau keluarga korban, apabila pengelola dianggap lalai dalam menyediakan fasilitas atau layanan yang aman.
Tuntutan pidana, jika terbukti ada kelalaian fatal yang mengakibatkan kecelakaan, dan kewajiban kompensasi, baik secara finansial maupun pelayanan medis kepada korban.
“Untuk mengurangi risiko hukum, pengelola DTW harus memiliki prosedur keselamatan yang terdokumentasi dan dijalankan secara konsisten, menyediakan asuransi bagi pengunjung, menyediakan pelatihan keselamatan bagi staf,” imbuhnya.
Oleh karena itu, para pemandu wisata (guide) memainkan peran vital dalam menjaga keselamatan wisatawan, terutama di DTW wisata alam.

Baca juga: UMK Denpasar 2025 Jadi Rp3.298.116,495, Bakal Ditetapkan Gubernur Paling Lambat 18 Desember 2024
Namun, pemahaman mereka terhadap mitigasi kebencanaan sering kali bervariasi.
Tergantung pada pendidikan dan pelatihan yang diterima, pengalaman kerja di lapangan, dan fasilitas pendukung dari pengelola DTW.
Idealnya, para guide harus memahami potensi risiko di DTW, seperti longsor, banjir, atau serangan satwa liar.
Tindakan evakuasi darurat dan bagaimana memandu wisatawan ke tempat aman juga penting untuk dipahami.
Sistem peringatan dini dan cara membaca tanda-tanda alam dan pemberian pertolongan pertama jika terjadi cedera juga mesti dimiliki oleh para guide.
Untuk memastikan hal ini, pengelola DTW perlu memberikan pelatihan mitigasi kebencanaan secara berkala, melakukan simulasi bencana bersama para guide dan wisatawan, memberikan panduan tertulis atau aplikasi pendukung yang dapat diakses guide selama perjalanan.
“Jadi, standar keamanan di DTW khusus wisata alam harus menjadi prioritas utama untuk melindungi wisatawan, lingkungan, dan pengelola dari risiko kecelakaan serta implikasi hukumnya,”
“Pengawasan khusus diperlukan untuk meminimalkan risiko, terutama di lokasi-lokasi yang memiliki tingkat kerawanan tinggi,” tandasnya.
Selain itu, pemandu wisata harus dibekali dengan pemahaman mitigasi kebencanaan yang komprehensif untuk mendukung keselamatan wisatawan.
Kolaborasi antara pengelola, pemerintah, dan komunitas lokal sangat penting untuk menciptakan DTW yang aman, nyaman, dan berkelanjutan.
Sementara itu, Menurut Wakil Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga BPD PHRI Provinsi Bali, Anak Agung Ngurah Adhi Ardhana, mengatakan bahwa Bali telah memiliki kebijakan daerah tentang standar keamanan penyelenggaraan kepariwisataan di Bali yang diatur dalam Perda Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2020 tentang Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan Budaya Bali.
Perda ini mengatur bahwa peningkatan kualitas penyelenggaraan kepariwisataan di Bali harus mencakup aspek keamanan, keselamatan, dan kesehatan.
“Kebetulan saya sendiri yang menjadi ketua pembahas peraturan daerah ini (saat masih menjadi sebagai Anggota DPRD Provinsi Bali) yang juga merujuk secara anatomi dan konsep kepada peraturan daerah tentang kepariwisataan budaya Bali,” ujar Adhi Ardhana.
Selain itu, perlindungan hukum wisatawan dalam penyelenggaraan kepariwisataan di Bali juga terdapat pada Pasal 20 huruf (c) dan (f) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
Selain itu, Pasal 4 angka (1) dan angka (5) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen juga dapat menjadi acuan perlindungan hukum wisatawan.
“Penyelenggara kepariwisataan, komponen pariwisata dan pengawasan oleh pemerintah merupakan faktor penentu, sehingga bencana dapat dihindari atau menjamin keamanan wisatawan saat berwisata,” tegasnya. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.